Jumat, 15 Mei 2015

PENGELOLAAN AHLI WARIS DAN BAGIANNYA





PENGELOLAAN AHLI WARIS
DAN BAGIANNYA

Untuk memenuhi tugas mata kuliah: Fiqh Mawaris
Dosen Pengampu:
M. Sholeh. S.Pd.I



 










Oleh:
Munadhirin
NIM           136015245


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG
20015




PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Syari’at Islam telah meletakkan aturan kewarisan dan hukum mengenai harta benda dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Agama Islam menetapkan hak milik seseorang atas harta, baik laki-laki atau perempuan melalui jalan syara’, seperti perpindahan hak milik laki-laki dan perempuan di waktu masih hidup ataupun perpindahan harta kepada para ahli warisnya setelah ia meninggal dunia.[1] Islam tidak mendiskriminasikan antara hak anak kecil dan orang dewasa. Kitabullah yang mulia telah menerangkan hukum-hukum waris dan ketentuan masing-masing ahli waris secara gamblang, dan tidak membiarkan atau membatasi bagian seseorang dari hak kewarisanya.[2] Al-Qur’an al-Karîm dijadikan sandaran dan neracanya. Hanya sebagian kecil saja (perihal hukum waris) yang ditetapkan dengan Sunnah dan Ijma’. Di dalam syari’at Islam tidak dijumpai hukum-hukum yang diuraikan oleh al-Qur’an al-Karîm secara jelas dan terperinci sebagaimana hukum waris.
Hukum kewarisan Islam merupakan salah satu bentuk perhatian Islam tehadap pemeliharaan harta peninggalan seseorang muslim. Di samping itu, hukum kewarisan Islam merupakan realisasi dari perintah al-Qur’an untuk tidak meninggalkan ahli waris (keturunan) yang lemah.[3] Rangkaian pengertian dan ketentuan yang ada dalam hukum kewarisan merupakan hukum aplikatif, bukan teoritik.[4] Artinya hukum kewarisan memiliki fungsi yang bersifat futuristik terhadap sebuah keluarga.[5]

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka saya mebatasi masalah sebagai berikut:
1.       Bagaimana Pengelolaan Ahli Waris dan Bagiannya?
2.      Siapakah Ahli Waris Nasabiyyah dan Sababiyyah, Ahli Waris Ashabah, Ahli Waris Dzawil Furud, Ahli Waris Dzawil Arham, beserta Pembagian dan Penggolongannya?
3.      Bagaimana Memahami Hajib dan Mahjubnya?


PEMBAHASAN
Membicarakan kewarisan (farâidh) berarti membicarakan hal ihwal peralihan harta dari orang yang telah mati sebagai pemberi waris (al-muwarris) kepada orang yang masih hidup sebagai ahli waris (al-wâris). Artinya warisan merupakan esensi kausalitas (sebab pokok)[6] dalam memiliki harta, sedangkan harta merupakan pembalut kehidupan, baik secara individual maupun secara universal. Dengan harta itulah jiwa kehidupan selalu berputar. 

A.            PENGERTIAN AHLI WARIS
Kata “ahli waris” dalam bahasa arab disebut “الوارث “ –yang secara bahasa berarti keluarga–tidak secara otomatis ia dapat mewarisi harta peninggalan pewarisnya yang meninggal dunia.[7] Karena kedekatan hubungan keluarga juga dapat mempengaruhi kedudukan dan hak-haknya untuk mendapatkan warisan. Terkadang yang dekat menghalangi yang jauh, atau ada juga yang dekat tetapi tidak dikategorikan sebagi ahli waris yang berhak menerima warisan, karena jalur yang dilaluinya perempuan.
Sedangkan pengertian ahli waris (الوارث ) secara istilah adalah orang yang menerima atau memiliki hak warisan dari tirkah (harta peninggalan) orang yang meninggal dunia (pewaris).[8] Untuk berhaknya dia menerima harta warisan itu diisyaratkan dia telah dan hidup saat terjadinya kematian pewaris. Dalam hal ini termasuk pengertian ahli waris janin yang telah hidup dalam kandungan, meskipun kepastian haknya baru ada setelah ia lahir dalam keadaan hidup.[9] Hal ini juga berlaku terhadap seseorang yang belum pasti kematiannya.[10] Tidak semua ahli waris mempunyai kedudukan yang sama, melainkan mempunyai tingkatan yang berbeda-beda secara tertib sesuai dengan hubungnnya dengan si mayit.

B.            AHLI WARIS DAN HAK-HAKNYA
Ahli waris itu ada yang ditetapkan secara khusus dalam al-Qur’an dan langsung oleh Allah dalam al-Qur’an dan oleh Nabi dalam hadisnya; ada juga yang ditentukan melalui ijtihad dengan meluaskan lafaz yang terdapat dalam nash hukum dan ada pula yang dipahami dari petunjuk umum dari al-Qur’an dan atau hadis Nabi. Artinya para ahli waris yang mempunyai hak waris dari seseorang yang meninggal dunia –baik yang ditimbulkan melalui hubungan turunan (zunnasbi), hubungan periparan (asshar), maupun hubungan perwalian (mawali)– dapat dikelompokkan atas dua golongan, yakni (1) ahli waris yang hak warisnya mengandung kepastian, berdasarkan ittifaq oleh para ulama dan sarjana hukum Islam, dan (2) golongan yang hak warisnya masih diperselisihkan (ikhtilâf) oleh para ulama dan sarjana hukum Islam.[11]
 
C.            AHLI WARIS NASABIYYAH DAN SABABIYYAH
Adapun macam-macam ahli waris ditinjau dari sebab-sebabnya, dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu:
1.      Ahli Waris Nasabiyyah
Ahli waris nasabiah, yaitu ahli waris yang hubungan kekeluargaannya timbul karena hubungan darah; artinya orang yang berhak memperoleh harta waris karena ada hubungan nasab[12] dengan orang yang meninggal dunia.
Ahli waris nasabiyah adalah ahli waris yang pertalian kekerabatannya kepada al-muwarris didasarkan pada hubungan darah. Ahli waris nasabiyah ini seluruhnya ada 21 orang , terdiri dari 13 orang ahli waris laki-laki dan 8 orang ahli waris perempuan. Untuk memudahkan pemahaman lebih lanjut, akan penulis bahas Ahli waris nasabiyah berdasarkan kelompok dan tingkatan kekerabatannya.
Ahli waris laki-laki, jika didasarkan pada urutan kelompoknya adalah sebagai berikut :
a. Anak laki-laki (الابن )
b. Cucu laki-laki dari anak laki-laki (, ابن الابن) dan seterusnya ke bawah
c. Bapak (, الأب )
d. Kakek dari garis bapak ( الجد من جهة الأب ) dan seterusnya ke atas
e. Saudara laki-laki sekandung (الاخ الشقيق )
f. Saudara laki-laki sebapak (الاخ للأب )
g. Saudara laki-laki seibu (الاخ للام )
h. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung (ابن الاخ الشقيق )
i. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak (, ابن الاخ للأب )
j. Paman sekandung (العم الشقيق )
k. Paman sebapak (العم للأب )
l. Anak laki-laki paman sekandung ( ابن العم الشقيق )
m. Anak laki-laki paman sebapak (ابن العم للأب ).
Adapun ahli waris perempuan semuanya ada 8 orang, yang rinciannya sebagai berikut:
a. Anak perempuan (البنت )
b. Cucu perempuan dari anak laki-laki ( بنت الابن ) dan seterunya ke bawah
c. Ibu ( الام )
d. Nenek dari garis bapak (الجدة من جهة الأب )
e. Nenek dari garis ibu (الجدة من جهة الام )
f. Saudara perempuan sekandung ( الاخت الشقيقة )
g. Saudara perempuan sebapak ( الاخت للأب )
h. Saudara perempuan seibu ( الاخت للام ).
Dari ahli waris nasabiyah tersebut di atas, apabila dikelompokkan menurut tingkat atau kelompok kekerabatanya adalah sebagai berikut :
1)      Furû’ al-wâris ( فروع الوارث ), yaitu ahli waris kelompok anak keturunan al-muwarris (المورث ), atau disebut dengan kelompok cabang (al-bunuwwah, البنوة). Kelompok ini adalah ahli waris yang terdekat dan mereka didahulukan dalam menerima warisan. Ahli waris yang termasuk kelompok ini adalah:
a) Anak perempuan (البنت )
b) Cucu perempuan garis laki-laki ( بنت الابن)
c) Anak laki-laki ( الابن )
d) Cucu laki-laki garis laki-laki ( ابن الابن )
2)      Usûl al-wâris ( اصول الوارث ), yaitu ahli waris leluhur al-muwarris (المورث ). Kedudukan meskipun sebagai leluhur, tetapi dikelompokkan berada setelah furû’ al-wâris. Mereka adalah:
a) Bapak ( الأب )
b) Ibu ( الام )
c) Kakek garis bapak ( الجد من جهة الأب )
d) Nenek dari garis bapak ( الجدة من جهة الأب )
e) Nenek garis ibu ( الجدة من جهة الام )
3)      Al-hawâsyi ( الحواشى ), yaitu ahli waris kelompok samping, termasuk di dalamnya saudara, paman dan keturunanya. Seluruhnya ada 13 orang, yaitu:
a) Saudara perempuan sekandung ( الاخت الشقيقة )
b) Saudara perempuan sebapak (الاخت للأب )
c) Saudra perempuan seibu ( الاخت للام )
d) Saudara laki-laki sekandung ( الاخ الشقيق )
e) Saudara laki-laki sebapak ( الاخ للأب )
f) Saudara laki-laki seibu ( الاخ للام )
g) Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung ( ابن الاخ الشقيق )
h) Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak (ابن الاخ للأب )
i) Paman sekandung ( العم الشقيق )
j) Paman sebapak ( العم للأب )
k) Anak laki-laki paman sekandung (ابن العم الشقيق )
l) Anak laki-laki paman seayah (ابن العم للأب ).[13]
 
2.      Ahli Waris Sababiyah
Ahli waris sababiyah, yaitu hubungan kewarisan yang timbul karena suatu sebab tertentu, yaitu: Hubungan perkawinan yang sah (al-musâharah) dan masih berjalan (tidak bercerai) pada saat suami atau isteri meninggal dunia (QS. 4:12). Memerdekakan hamba sahaya (al-walâ) atau karena adanya perjanjian tolong menolong.
Ahli waris sababiyah adalah ahli waris yang hubungan kewarisannya timbul karena ada sebab-sebab tertentu, yaitu:
a. Sebab perkawinan (al-musâharah) yaitu suami atau istri.
b. Sebab memerdekakan hamba sahaya (wala’ul ‘ataq).[14]
c. Sebab adanya perjanjian tolong menolong menurut sebagian mazhab Hanafiyah (wala’ul muwalah).[15](sebab ketiga ini, tidak penulis bahas lebih lanjut).
Sebagai ahli waris sababiyah, mereka dapat menerima bagian warisan apabila perkawinan suami istri itu sah, baik menurut ketentuan hukum agama maupun sipil, dan memiliki bukti-bukti yuridis, artinya secara administratif sah menurut hukum yang berlaku. Demikian juga hubungan kewarisan yang timbul karena sebab memerdekakan hamba sahaya, hendaknya dapat dibuktikan menurut hukum. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahan dan mengada-ada informasi (made-up information), sehingga secara de facto dan de jure dapat dipertanggung jawabkan.

D.            ASHÂBUL-FURÛDH DAN HAK-HAKNYA
Ahli waris zawil furûdh (ذوي الفروض ) atau disebut juga ashâb al-furûdh (اصحاب الفروض ) atau lengkapnya ashâb al-furud al-muqaddarah ( اصحاب الفروض المقدرة ) bagiannya telah ditetapkan secara pasti dalam al-Qur’an dan atau Hadis Nabi saw. Mereka menerima harta warisan dalam urutan pertama. bagian-bagian tertentu dalam al-Qur’an adalah: 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3, dan 1/6.[16] Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ashâb al-furûdh (اصحاب الفروض ) dibedakan menjadi dua, yaitu: ashâb al-furûdh al-nasabiyah (اصحاب الفروض النسبية ) dan ashâb al-furûdh al-sababiyah (اصحاب الفروض السببية ). Adapun bagian masing-masing ashâb al-furûdh adalah sebagai berikut:
1.      Anak perempuan ( البنت ); bagiannya adalah:
a.       1/2 bila anak perempuan hanya sendiri.
b.      2/3 bila anak perempuan ada dua orang atau lebih dan tidak disertai anak laki-laki.
2.      Cucu perempuan garis laki (بنت الابن ), bagiannya adalah:
a.       1/2 bila cucu perempuan hanya sendirian.
b.      2/3 bila cucu perempuan ada dua orang atau lebih dan tidak disertai oleh cucu laki-laki.
c.       1/6 sebagai penyempurna 2/3 (takmilah li al-sulusain), jika bersama seorang anak perempuan, tidak ada cucu lai-laki an tidak mahjûb.
3.      Ibu ( الام ); bagiannya adalah:
a.       1/6 bila bersamanya ada anak atau cucu atau beberapa orang saudara.
b.      1/3 bila bersamanya tidak ada anak, cucu atau dua orang saudara.
c.       1/3 dari sisa harta, dalam masalah gharrawain[17] bila ia bersama ayah, suami atau istri dan tidak ada bersamanya anak atau cucu.
4.      Bapak (الأب ) ; bagiannya adalah:
a.       1/6 bila bersamanya ada anak atau cucu.
b.      Mendapat sisa harta bila bersamanya tidak ada anak atau cucu laki-laki.
c.       1/6 dan kemudian mengambil sisa harta bila bersamanya ada anak atau cucu perempuan.
5.      Nenek (الجدة من جهة الأب اوالام ); jika tidak mahjûb baik melalui ayah atau ibu, bagiannya:
a.       1/6 jika seorang.
b.      1/6 dibagi rata apabila nenek lebih dari satu orang dan sederajat kedudukannya.
6.      Kakek garis bapak (الجد من جهة الأب ); jika tidak mahjûb bagiannya adalah:
a.       1/6 bila bersamanya ada anak atau cucu laki-laki dari garis laki-laki.
b.      1/6 + sisa harta, jika bersama anak atau cucu perempuan garis laki-laki dan bersamanya tidak ada anak atau cucu laki-laki.
c.       1/6 atau muqâsamah (bagi rata) dengan saudara sekandung atau seayah, setelah diambil untuk ahli waris lain.
d.      1/3 atau muqâsamah bersama saudara sekandung atau seayah, jika tidak ada hali waris lain. Masalah ini disebut al-jadd ma’a al-ikhwah (kakek bersama saudara).
7.      Saudara perempuan kandung ( الاخت الشقيقة ); jika tidak mahjûb bagiannya adalah:
a.       1/2 bila ia hanya seorang saja.
b.      2/3 bila ada dua orang atau lebih dan tidak bersama saudara laki-laki sekandung.
8.      Saudara perempuan sebapak (الاخت للأب ); jika tidak mahjûb, bagiannya adalah:
a.       1/2 bila ia hanya seorang saja.
b.      2/3 bila ada dua orang atau lebih dan tidak ada bersama saudara laki-laki sekandung.
c.       1/6 bila bersama dengan sauadara perempuan kandung seorang, sebagai pelengkap 2/3 (takmilah li al-sulusain).
9.      Saudara perempuan seibu ( الاخت للام ); baik laki-laki atau perempuan kedudukannya sama.[18] Apabila tidak mahjûb, bagiannya adalah:
a.       1/6 bila ia hanya seorang saja.
b.      1/3 untuk dua orang atau lebih.
c.       Bergabung menerima bagian 1/3 dengan saudara sekandung, jika bersama-sama dengan ahli waris suami dan ibu. Masalah ini disebut dengan musyârokah.
10.  Suami (الزوج ); bagiannya adalah:
a.       1/2 bila bersamanya tidak ada anak atau cucu.
b.      1/4 bila bersamanya ada anak atau cucu.
11.  Istri ( الزوجة ); bagiannya adalah:
a.       1/4 bila bersamanya tidak ada anak atau cucu.
b.      1/8 bila bersamanya ada anak atau cucu.[19]
Ahli waris yang termasuk ashâb al-furûdh al-nasabiyah (اصحاب الفروض النسبية) di atas adalah nomor urut 1 sampai 9; sedangkan ashâb al-furûdh al-sababiyah (اصحاب الفروض السببية ) adalah nomor urut 10 dan 11. Jika seluruh ahli waris tersebut di atas ada semua, maka dari mereka itu, ahli waris yang dapat menerima bagian adalah :
1.    Anak perempuan 1/2
2.    Cucu perp. garis laki-laki 1/6
3.    Ibu 1/6
4.    Bapak 1/6 + sisa
5.    Isteri atau suami 1/8 atau 1/4
Apabila ahli waris laki-laki dan perempuan seluruhnya berkumpul, maka ahli waris yang mendapat bagian hanyalah :
1.      Anak perempuan
bersama-sama menerima sisa
2.      Anak laki-laki
3.      Bapak 1/6
4.      Ibu 1/6
5.      Isteri atau suami 1/8 atau 1/4

E.            AHLI WARIS ASHABAH
Kata ashabah merupakan jamak dari ﻋﺎﺼﺐ  yang berarti kerabat seseorang dari pihak bapaknya dalam memberikan defenisi ashabah atau ta’shib pada hakikatnya, para ulama faraid mempunyai kesamaan persepsi dan asal-usul antara lain sebagai mana yang dikemukakn Rifa’I Arif.[20] Dalam pengertian lain ashabah adalah bagian sisa setelah diberikan kepada ahli waris ashbul al-furud. Sebagai ahli waris penerima bagian sisa, ahli waris ashabah terkadang menerima bagian banyak (seluruh harta warisan) terkadang menerima bagian sedikit, tetapi terkadang tidak menerima bagian sama sekali, karena telah habis diberikan kepada ahli waris ashabul al-furud.[21]
Dalam pembagian sisa harta warisan ahli waris yang memiliki hubungan kekrabatan yang terdekatlah yang lebih dahulu menerimanya. Konsekuensi cara pemabagian warisan ini maka ahli waris yang peringkat kekerabatannya berada dibawahnya tidak mendapatkan bagian. Dasar pembegian ini adalah perintah Rasulullah saw:
أَلْحِقُوا الفَرَئِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَلاَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ (متفق عليه )
“Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada ahli waris yang berhak, maka sisanya untuk ahli waris laki-laki yang utama.” (Muttafaq ‘alaih)

Dari kelompok ashbul al-furud ada yang tidak mempunyai bagian tertentu dengan kata lain tidak ditegaskan baik dalam al-Qur’an maupun asunnah, ahli waris yang demikian ini dinamakan dengan ashabah. Ahli waris ashabah ini menunggu sisa pembagian dari ahli waris yang telah ditentukan bagiannya, dan keistimewaan ashabah ini dapat mengabisi seluruh, jika ahli waris yang ditentukan bagiannya sudah mengambil apa yang menjadi haknya.[22]
Ashabah secara umum terbagi menjadi tiga yaitu Ashabah bi nafsi, Ashabah bi al ghair, Ashabah ma’a al-ghairi, dengan penjelasan sebagai berikut :
1.      Ashabah bi nafsi, Yaitu ahli waris yang karena kedudukan dirinya sendiri berhak menerima bagian ashabah. Ahli waris kelompok ini semuanya laki-laki, kecuali mu’tiqah (orang perempuan yang memerdekakan hamba sahaya), yaitu :[23]
a.       Anak laki-laki
b.      Cucu laki-laki dari garis laki-laki
c.       Bapak
d.      Kakek (dari garis bapak)
e.       Saudara laki-laki sekandung
f.       Saudara laki-laki seayah
g.      Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
h.      Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
i.        Paman sekandung
j.        Paman seayah
k.      Anak laki-laki paman sekandung
l.        Anak laki-laki paman seayah
m.    Mu’tiq dan mu’tiqah
Dalil pewarisan mereka adalah firman Allah SWT :
يُوصِيكُمُ اللهُ فِى اَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِ......
“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadammu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan…..” (an-Nisaa’:11).[24]

2.      Ashabah bi al ghair, Yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama dengan ahli waris yang telah menerima bagian sisa apabila ahli waris penerima sisa tidak ada maka ia tetap menerima bagian tertentu ahli waris penerima ashabah bi al-ghair tersebut adalah :
a.    Anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki.
b.    Cucu perempuan garis laki-laki bersama dengan cucu laki-laki garis laki-laki.
c.    Saudara perempuan sekandung bersama saudara laki-laki sekandung.
d.   Saudara perempuan seayah bersama dengan saudara laki-laki seayah.
Ketentuan yang berlaku, apabila mereka bergabung menerima bagian ‘ashabah. Maka bagian ahli waris laki-laki adalah dua kali bagian perempuan. Dasarnya adalah firman Allah Swt:
وَاِنْ كَانُوْا اِخْوَةً رَّجَالاً وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظَّ الأُنْثَيَيْنِ (النساء)
“jika mereka beberapa orang saudara laki-laki dan perempuan, maka untuk seorang laki-laki sebanyak bagian dua orang perempuan…” (An-Nisa’: 176).[25]

3.      Ashabah ma’a al-ghair, Yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama dengan ahli waris lain yang tidak menerima bagian sisa. Apabila ahli waris lain tidak ada, maka ia menerima bagian tertentu (al-furudl al-muqaddarah). Ahli waris yang menerima bagian ashabah ma’a al-ghair adalah :[26]
a.         Saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih) bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan garis laki-laki (seorang atau lebih).
b.        Saudara perempuan seayah (seorang atau lebih) bersama dengan anak atau cucu perempuan (seorang atau lebih).
Ashabah karena sebab, Yang dimaksud para ashabah karena sebab ialah orang-orang yang memerdekakan budak (baik budak laki-laki maupun perempuan). Misalnya, seorang bekas budak meninggal dan mempunyai harta warisan, maka orang yang pernah memerdekakannya termasuk salah satu ahli warisnya, dan sebagai ashabah. Tetapi pada masa kini sudah tidak ada lagi.

F.             AHLI WARIS DZAWIL ARHAM
1.        Pengertian Dzawil Arham
Secara umum, Dzawil Arham berarti orang yang memiliki hubungan kekerabatan (hubungan darah) dengan orang yang meninggal, baik tergolongashabil furudh(pemilik bagian pasti) ataupun ‘ashabah, berdasarkan QS. Al- anfal :75 :
“Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itusebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (dari pada yang bukan kerabat) didalam kitab Allah.”QS. Al- anfal :75
Dalam ilmu Faraidh, Dzawil Arham adalah kerabat (famili), baik laki-laki ataupun perempuan yang tidak memiliki bagian tertentu dan ‘ashabah.
M. Ali Ash-Shabuni menjelaskan bahwa, Dzawil Arham adalah kerabat mayat yang tidak termasuk ashhabul furudh ataupun ‘ashabah,seperti saudara laki-laki ibu (khal), saudara perempuan ibu (khalal), saudara perempuan ayah (‘amah), cucu laki-laki dari anak perempuan, dan cucu perempuan dari anak perempuan.[27]

2.        Hukum Warisan Dzawil Arham
Ulama Hanafiah, Hanabilah, sebagian ulama Syafi’iyah dan ulama Malikiyah mangatakan bahwa apabila tidak dijumpai seorang pun dari ahli waris yang mempunyai bagian tertentu atau ‘ashabah, maka tirkah diserahkan sepenuhnya kepada Dzawil Arham sebagai warisan. Berdasarkan QS. Al-Anfal:75 sebagaimana disebutkan diatas dan QS. An-Nisa:7 yang berbunyi :
 Bagi laki-laki ada hak dan bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya” QS.An-Nisa:7
M. Ali Ash-Shabuni menegaskan  bahwa jika mayat tidak meninggalkan ahli waris dari Ashhabul furudh dan ashabah, maka yang berhak mewarisi harta warisannya adalah Dzawil Arham. Kewarisan dzawil Arham ini didasaekan pada madzhab Hambali, Hanafi, Maliki dan sekarang sudah menjadi undang-undang perdata islam(al-ahwal asy-syaksiyyah).
Dilain pihak,sebagian ulama syafi;iyah mengatakan bahwa dzawil arham tidak dapat diwarisi, karena tidak disebutkan didalam Al-Qur’an, seandainya mereka berhak mewarisi tentulah ahli wala’ (yang memerdekakan) tidak didahulukan atas mereka.[28]

3.        Cara Pewarisan Dzawil Arham
Ada tiga cara pembagian pewarisan dzawil arham, yaitu:
a.       Cara Al-Rahm, Cara al-rahm disebut juga dengan cara al-taswiyah. Kelompok ini mengatakan bahwa tirkah dibagikan kepada dzawil arham secara merata, tidak membedakan antara kerabat yang dekat dengan yang jauh, antara laki-laki dan perempuan, mereka memiliki hal yang sama.
b.      Cara Ahli Tanzil, Madzhab ini menyebutkan bahwa dzawil arham dapat menduduki  posisi ahli waris asal (induknya), baik sebagai ashab al-furudh atau ashabah bagaikan mereka masih hidup, kemudian warisan dibagikan kepada dzawil arham (furu’) dengan ketentuan 2:1 (laki-laki dua kali lipat dari perempuan) dan ketentuan warisan lainnya.
c.       Cara Ahlu al-Qarabah, Disebut Ahl al-Qarabah sebab prinsip pembagian waris untuk dzawil arham ini berdasarkan jihat (jalur) yang lebih dekat, yakni mereka mendahulukan pewaris pada orang yang lebih dekat dan seterusnya sebagai qiyasan pada pewaris ‘ashabah.

4.        Ahli Waris Pengganti
Dzawil arham dapat menerima bagian sebagai ahli waris pengganti atau karena tidak ada dzawil furudh dan atau ashabah yang telah disebutkan diatas mereka adalah:
a.       Cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak perempuan yang berkedudukan sama denagn anak perempuan yakni apabila anak perempuan mendapat ½ maka ia juga mendapat ½ (separo).
b.      Anak (laki-laki atau perempuan ) dari cucu perempuan yang berkedudukan sama dengan cucu perempuan.
c.       Kakek (ayah dari ibu) kedudukannya sama dengan ibu
d.      Nenek dari pihak kakek (ibu dari kakek yang tidak menjadiahli waris seperti halnya nenek dari ibu) kedudukannya sama dengan ibu.
e.       Anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung atau sebapak. Kedudukannya sama dengan saudara laki-laki.
f.       Anak (laki-laki atau perempuan) dari saudara seibu. Kedudukannya sama dengan saudara seibu.
g.      Anak (laki-laki atau perempuan) dari saudara perempuan sekandung, seayah atau seibu. Kedudukannya sama dengan saudara perempuan sekandung atau seayah.
h.      Bibi (saudara perempuan dari ayah) dan saudara perempuan dari kakek. Kedudukannya sama dengan ayah.
i.        Paman yang seibu dengan ayah dan saudara laki-laki yang seibu dengan kakek. Kedudukannya sama dengan ayah.
j.        Saudara (laki-laki atau perempuan) dari ibu. Kedudukannya sama dengan ibu.
k.      Turunan dari rahim-rahim tersebut diatas.
Mereka tersebut dapat menerima warisan dengan Syarat (a.)Sudah tidak ada asshab al-furudh atau ‘ashabah sama sekali. Jika ada sisa warisan, maka di radd-kan (dikembalikan) kepada ahli waris yang ada, tidak diberikan kepada dzawil furudh, atau (b.) bersama dengan salah seorang suami-istri.[29]

G.           HAJIB DAN MAHJUB
Hijab secara harfiah berarti satir, penutup atau penghalang. Dalam fiqh mawaris, istilah ini digunakan untuk menjelaskan ahli waris yang hubungan kekerabatannya jauh, yang kadang-kadang atau seterusna terhalang hak-hak kewarisanya oleh ahli waris yang lebih dekat.[30] Ahli waris yang terhalangi disebut hajib, sedangkan ahli waris yang terhalang disebut dengan mahjub. Keadaan yang terhalangi disebut hijab.
Hijab dilihat dari segi akibatnya, dibagi 2 macam:[31]
1.      Hijab Nuqson, Hijab Nuqson yaitu menghalangi yang berakibat mengurangi bagian ahli waris yang mahjub, seperti suami, yang seharusnya menerima bagian 1/2, karena bersama anak baik laki-laki maupun perempuan, bagianya terkurangi menjadi 1/4. Ibu yang sedianya menerima bagian 1/3, karena bersama dengan anak, atau saudara 2 orang atau lebih, terkurangi bagianya menjadi 1/6.
Adapun tabel secara rinci hajib-mahjub dan perubahanya dalam hajib nuqson.
NO
Ali Waris
Bagian
Terkurangi Oleh
Menjadi
01
Ibu
1/3
1/3
Anakatau cucu 2 saudara atau lebih
1/6
1/6
02
Bapak
‘ashabah
‘ashabah
Abak laki-laki
Anak perempuan
1/6
1/6 + ‘ashabah
03
Istri
¼
Anak atau cucu
1/8
04
Suami
½
Anak atau cucu
¼
05
Saudara(pr).Skd/seayah _”_ 2 +
½
2/3
Anak atau cucu perempuan _”_
‘amg
‘amg
06
Cucu (pr) grs. Laki-laki
½
Seorang anak perempuan
1/6
07
Saudara (pr) seayah
½
Seorang saudara (pr) skd
1/6
Keterangan: Ahli waris nenek apabila tidak mahjub oleh bapak atau ibu, mendapat bagian 1/6 (kedudukanya hampir sama dengan ibu). Demikan juga kakek jika tidak ada bapak, kedudukanya sama dengan bapak, kecuali dalam masalah al-jadd ma’a al ikhwah.
2.      Hijab Hirman, Hijab Hirman dalah hijab yang menghalangi secara total. Akibatnya hak-hak waris ahli waris yang termahjub tertutup sama sekali denga adanya ahli waris yang menghalangi. Misalnya, saudara perempuan kandungyang semula berhak menerima bagian 1/2, tetapi karena bersama dengan anak laki-laki, menjadi tertutup sama sekali atau tidak mendapat bagian.
Saudara seibu yang sedianya menerima bagian 1/6 karena bersama dengan anak perempuan, menjadi tertutup sama sekali. rincian dari Hijab Hirman sebagai berikut:
NO
Ahli Waris
Bagian
Terhalang Oleh
Menjadi
01
Kakek
1/6
Ayah
-
01
Nenek garis ibu
1/6
Ibu
-
03
Nenek garis ayah
1/6
Ayah dan ibu
-
04
Cucu (lk) grs. Laki-laki
‘ashabah
Anak laki-laki
-
05
Cucu (pr) grs. Laki-laki
Cucu (pr). Grs. Laki-laki 2 +
½
2/3
Anak laki-laki
Anak (pr) 2+
-
06
Saudara (lk) skd
Saudara (pr) skd
Saudara (pr) skd 2 +
‘ashabah
1/2
2/3
Anak (lk), cucu (lk), dan ayah
-
07
Saudara seayah (lk)
Saudra (pr) seayah
Saudara (pr) seayah 2 +
‘ashabah
1/2
2/3
Anak (lk), cucu (lk), ayah, sdr (lk) skd, sdr. (pr) skd bersama anak/cucu (pr)
-
08
Saudara lk/pr seibu
Saudara lk/pr seibu 2 +
1/6
1/3
Anak laki2 dan anak (pr)cucu lk2 dan cucu pr. Ayah dan kakek
-
09
Anak (lk) sdr. Laki2 skd
‘ashabah
Anak (lk), cucu laki2, ayah/kakek, saudara lk2 skd/seayah, saudara (pr) skd/seayah yang menerima ‘ashabah ma’al ghair
-
10
Anak (lk) sdr. Seayah
‘ashabah
Anak/cucu lk2, ayah/kakek, sdr lk2 skd/ seayah, anak lk2 sdr lk2 skd, sdr pr skd/ seayah yng menerima ‘ashabah ma’al ghair
-
11
Paman sekandung
‘ashabah
Anak/cucu lk2, ayah/kakek, sdr lk2 skd/ seayah, anak lk2 sdr lk2 skd, sdr pr skd/ seayah yng menerima ‘ashabah ma’al ghair
-
12
Paman seayah
‘ashabah
Anak/cucu lk2, ayah/kakek, sdr lk2 skd/ seayah,anak lk2 sdr lk2 skd, sdr pr skd/ seayah yng menerima ‘ashabah ma’al ghair dan paman sekandung
-
13
Paman seayah
Anak (lk) paman skd
‘ashabah
Anak/cucu lk2, ayah/kakek, sdr lk2 skd/seayah, anak lk2 sdr lk2 skd, sdr pr skd/ seayah yng menenerima ‘ashabah ma’al ghair dan paman skd/ seayah
-
14
Anak (lk) paman seayah
‘ashabah
Anak/cucu lk2, ayah/kakek, saudara lk2 skd/ seayah, anak lk2 sdr lk2 skd, saudara pr skd/ seayah yang menerima ‘ashabah ma’al ghair, paman skd/ seayah dan anak lk2 paman skd
-





PENUTUP

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa ahli waris (al-wâris) sebagai orang yang berhak menerima warisan dari al-muwarris dapat dikelompokkan menjadi dua; Pertama, ahli waris nasabiyah, yaitu ahli waris karena adanya hubungan nasab atau kekerabatan (al-qarabah); Kedua, ahli waris sababiyah, yaitu ahli waris karena adanya sebab, baik perkawinan (zaujiyah) maupun memerdekakan budak (wala’).
Secara umum ahli waris baik nasabiyah maupun sababiyah, laki-laki dan perempuan berjumlah 25 orang; 15 orang ahli waris laki-laki dan 10 orang ahli waris perempuan. Diantara ahli waris tersebut ada yang mendapat bagian tertentu (al-furûdh al-muqaddarah) berdasarkan al-Qur’an ada enam, yakni 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3, dan 1/6. Ahli waris yang mendapat bagian tertentu itu disebut dengan ashâb al-furûdh atau zawil furûdh. Ashâb al-furûdh اصحاب الفروض) ) terbagi dua, yaitu: ashâb al-furûdh al-nasabiyah (اصحاب الفروض النسبية ) dan ashâb al-furûdh al-sababiyah (اصحاب الفروض السببية ). Jika semua ahli waris yang 25 orang itu ada semua, maka yang berhak mendapat warisan adalah hanaya anak laki-laki, anak perempuan, bapak, ibu, suami atau istri.
Kata ashabah merupakan jamak dari ﻋﺎﺼﺐ  yang berarti kerabat seseorang dari pihak bapaknya dalam memberikan defenisi ashabah atau ta’shib pada hakikatnya, para ulama faraid mempunyai kesamaan persepsi dan asal-usul antara lain sebagai mana yang dikemukakn Rifa’I Arif. Dalam pengertian lain ashabah adalah bagian sisa setelah diberikan kepada ahli waris ashbul al-furud.
Ashabah secara umum terbagi menjadi tiga yaitu Ashabah bi nafsi, Ashabah bi al ghair, Ashabah ma’a al-ghairi.
Secara umum, Dzawil Arham berarti orang yang memiliki hubungan kekerabatan (hubungan darah) dengan orang yang meninggal, baik tergolong ashabil furudh(pemilik bagian pasti) ataupun ‘ashabah, berdasarkan QS. Al- anfal :75. Dalam ilmu Faraidh, Dzawil Arham adalah kerabat (famili), baik laki-laki ataupun perempuan yang tidak memiliki bagian tertentu dan ‘ashabah. M. Ali Ash-Shabuni menjelaskan bahwa, Dzawil Arham adalah kerabat mayat yang tidak termasuk ashhabul furudh ataupun ‘ashabah,seperti saudara laki-laki ibu (khal), saudara perempuan ibu (khalal), saudara perempuan ayah (‘amah), cucu laki-laki dari anak perempuan, dan cucu perempuan dari anak perempuan.
Hijab secara harfiah berarti satir, penutup atau penghalang. Dalam fiqh mawaris, istilah ini digunakan untuk menjelaskan ahli waris yang hubungan kekerabatannya jauh, yang kadang-kadang atau seterusnya terhalang hak-hak kewarisanya oleh ahli waris yang lebih dekat. Ahli waris yang terhalangi disebut hajib, sedangkan ahli waris yang menghalangi disebut dengan mahjub. Keadaan yang terhalangi disebut hijab.
Hijab dilihat dari segi akibatnya, hijab dibagi 2 macam, yakni: Hijab Nuqson dan Hijab Hirman.

Demikian semoga bermanfaat, khudz mâ shafa wa da’ mâ kadara (ambillah yang jernih dan tinggalkan yang keruh). Semoga Allah memberikan ilmu yang bermanfaat pada kita semua, Amien.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama Republik Indonesia, 1989.
A. Hassan, Al-Farâ’idh: Ilmu Pembagian Waris, Surabaya, Pustaka Progressif, 2003.
Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdhor, Kamus Kontemporer: Arab-Indonesia, Yogyakarta, Multi Karya Grafika, 2003.
Anshori, Abdul Ghofur, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Yogyakarta, UII Press, 2005.
Arief, Ahmad Rifa’i, Taisir al-Ma’sûr fî ‘îlmi al-Farâidh, Tangerang, Ponpes Dâr el-Qalam, t.t.
Ash-Shiddieqy, Hasby T.M., Fiqhul Mawâris, Jakarta, Bulan Bintang, 1973.
------------------, Fiqh Mawaris, Semarang, Pustaka Rizki Putra, 1999.
as-Shabuni, Muhammad Ali, Hukum Waris dalam Syari’at Islam, Bandung, CV. Diponegoro, 1995.
Athoillah, Fiqh Waris : Metode Pembagian Waris Praktis, Bandung: Yrama Widya, Tahun. 2013.
Az-Zuhaili Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jakarta Gema Insani, Tahun. 2011.
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an dan Hadits, Jakarta, Tinta Mas, 1982.
Jaih Mubarok, Ijtihad Kemanusiaan, Bandung, Pustaka Bani Quraiys, 2005.
Khalifah, Muhammad Thaha Abul Ela, Pembagian Warisan Berdasarkan Syari’at Islam, terj. Tim Kuwais Media Grasindo, Solo, Tiga Serangkai, 2007.
Makhluf, Hasanain Muhammad, Al-Mawâris fî al-Syarî’at al-Islâmiyyah, Kairo, Lajnah al-Bayân al-Araby, 1958.
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Madzhab, terj. Masykur A.B., Afif Muhammad, dan Idrus Al-Kaff, Jakarta, PT. Lentera Basritama, 2001.
Munawir Syadzali, “Reaktualisasi Ajaran Islam” dalam Tjun Soemardjan (ed.), Hukum Islam di Indonesia, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1994.
Rofiq, Ahmad, Fiqh Mawaris, Jakarta, PT. rajaGrafindo, 2002.
Rusyd, Ibnu, Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtasid, Beirut, Dâr al-Fikr, 1995.
Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, terj. M. Nor Hasanuddin, Lc., Jakarta, Pena Pundi Aksara, jilid 4, 2006.
----------------, Waris Wasiat, disalin oleh Yoesoef Soueyb, Jakarta, Wijaya, 1963.
Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta, Prenada Media, 2003.
Usman, Suparman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris: Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2002.
Zuhayli, Wahbah Al-, Al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuhu, Damsyiq Syuriah, Dâr al-Fikr, 1997.
Suparman Usman, Fiqih Mawaris, Jakrta: Gaya Media Pratama, Tahun. 1997.
Suhrawardi K. R


[1] Baca Q.S. An-Nisâ [4]: 33; (Lihat, Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab, terj. Masykur A.B., Afif Muhammad, dan Idrus Al-Kaff, Jakarta, PT. Lentera Basritama, 2001, hlm. 538).
[2] Baca Q.S. An-Nisâ [4]: 7
[3] Baca Q.S. An-Nisâ [4]: 9
[4] Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Yogyakarta, UII Press, 2005, hlm. 16.
[5] Sebagai motivator bagi setiap muslim untuk berusaha dengan giat guna memberikan kebaikan bagi keturunan sepeninggalnya. (Abdul Ghofur Anshori, Ibid, 39).
[6] Muhammad Ali as-Shabuni, Hukum Waris dalam Syari’at Islam, Bandung, CV. Diponegoro, 1995, hlm. 39.
[7] Ahmad Rafiq, Fiqh Mawaris, Jakarta, PT. rajaGrafindo, 2002, hlm. 59.
[8] Ibid; Lihat juga Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, Semarang, Pustaka Rizki Putra, 1999, hlm. 29.
[9] Wafatnya pewaris (muwarris) yang dimaksud adalah dalam pengertian mati secara de facto, artinya benar-benar bisa disaksikan kematiannya; dan pengertian mati secara de jure, yakni kematian yang tidak dapat disaksikan, tetapi berdasarkan keputusan hakim bahwa seseorang telah meninggal. Begitu juga dengan hidupnya ahli waris (al-wâris) yang dimaksud adalah hidup secara de facto, yakni kehidupan seseorang yang dapat dilihat, dirasakan dan hidup berinteraksi dalam kehidupan masyarakat; dan hidup secara de jure, yakni kehidupan bayi dalam kandungan ibunya. (Lihat lebih lanjut dalam Muhammad Thaha Abul Ela Khalifah, Pembagian Warisan Berdasarkan Syari’at Islam, terj. Tim Kuwais Media Grasindo, Solo, Tiga Serangkai, 2007, hlm. 18.
[10] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta, Prenada Media, 2003, hlm. 154.
[11] Ahli waris yang sudah ittifaq ulama berjumlah 25 orang, (15 orang laki-laki dan 10 orang perempuan); sedangkan ahli waris yang masih ikhtilâf ulama tentang hak warisnya adalah keluarga terdekat (zul arhâm) yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an tentang bagiannya (fardh) ataupun tentang ‘ushbat; mereka inilah yang dikenal dengan zawil arhâm. lihat, Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris: Hukum Kewarisan Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2002, hlm. 63 dan 65; Ibnu Rusyd, Waris Wasiat, disalin oleh Yoesoef Soueyb, Jakarta, Wijaya, 1963, hlm. 11.
[12] Nasab (keturunan, kekerabatan) menurut Sayyid Sabiq terbagi dua, yaitu nasab hakiki (yang sebenarnya) sebagaimana tercantum dalam QS. Al-A’râf [8]: 75); dan nasab hukmi (wala’), sebagaimana sabda Nabi saw. (رواه ابن حبان والحاكم وصححه) الولاء لمحة كلمحة ا لنسب “wala’ itu adalah kerabat seperti kekerabatan karena nasab.” (Lihat, Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, terj. M. Nor Hasanuddin, Lc., Jakarta, Pena Pundi Aksara, jilid 4, 2006, hlm. 484.
[13] Ibid, hlm. 63; Bandingkan dengan Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, op.cit., hlm. 67.
[14] Menurut Sayyid Sabiq wala’ul ‘ataq ini adalah kekerabatan yang dihasilkan karena sebab memerdekakan budak (lihat, Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 489).
[15] Wala’ul muwalah adalah hubungan yang disebabkan oleh sumpah setia; artinya hubungan yang terjalin dengan perjanjian yang dibuat oleh dua orang atas kemauan sendiri untuk saling membela serta saling menerima pusaka oleh masing-masing dari yang lain; orang yang pertama dinamakan muwali, sedang yang kedua dinamakan muwala. Hal mini termasuk menjadi sebab pewarisan menurut Abu Hanifah dan Syi’ah Imamiyah, tetapi tidak termasuk sebagai sebab pewarisan menurut Jumhur Ulama (lihat, Ibid, hlm. 426; juga Teungku Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit., hlm. 32).
[16] Amir Syarifuddin, op.cit., hlm. 163 juga Ahmad Rofiq, loc.cit., hlm. 66; Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 489.
[17] Gharrawain disebut juga ‘Umariyatain, maksudnya adalah dua masalah yang diselesaikan dengan ijtihad Umar bin Khoththâb. (Hal ini akan dibahas oleh pemakalah yang lain).
[18] Menurut Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh Sunnah, bahwa antara saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu dipisahkan, meskipun hak warisnya sama; sehingga jumlah ashâb al-furûdh ada 12 orang; empat orang laki-laki dan delapan orang perempuan (Lihat, Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 489.
[19] Lihat Wahbah al-Zuhayli, op.cit, hlm. 7739-7740; Lihat juga Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, op.cit., hlm. 67-71; Lihat juga Amir Syarifuddin, op.cit., hlm. 163-165; Ahmad Rofiq, op.cit., hlm. 67-70.
[20] Suparman Usman, Fiqih Mawaris, Jakrta: Gaya Media Pratama, 1997, hal. 46.
[21] Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001,  hal.79.
[22] Suhrawardi K. Rubis, Hukum Waris Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hal.99.
[23] Opcit, hal. 80
[24] Az-Zuhaili Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jakarta Gema Insani, 2011, Hal.416.
[25] Opcit, hal.81.
[26] Ibid, hal.82.
[27] Athoillah, Fiqh Waris : Metode Pembagian Waris Praktis, Bandung: Yrama Widya, 2013, hal.116.
[28] Ibid, hal. 118
[29] Ibid, hal.120
[30] Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Raja Garfindo Persada, Jakarta:2000, hal.89
[31] Op.cit hlm: 90

Tidak ada komentar:

Posting Komentar