AKAD
MUDHARABAH DAN
AKAD SYIRKAH
ATAU MUSYARAKAH
Untuk memenuhi tugas mata kuliah: Fiqh Muamalah
Dosen Pengampu:
Bazro Jamhar, L.c. M.S.I
Oleh:
Munadhirin
NIM 136015245
FAKULTAS AGAMA
ISLAM
UNIVERSITAS
WAHID HASYIM SEMARANG
20015
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Akad mudharabah
merupakan salah satu produk pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syari’ah.
Seperti yang disebutkan dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah
(selanjutnya disebut UUPS). Pasal 19 UUPS menyebutkan, bahwa salah satu akad
pembiayaan yang ada dalam perbankan syari’ah adalah akad mudharabah. Selain itu
bank Indonesisa juga mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor,
10/16/PBI/2008 Tentang Prinsip Syari’ah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan
Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syari’ah, juga menyebutkan mudharabah
adalah salah satu akad pembiayaan yang ada didalam perbankan syari’ah.
Akad Mudharabah adalah
akad antara pemilik modal dengan pengelola modal, dengan ketentuan bahwa keuntungan
diperoleh dua belah pihak sesuai dengan kesepakatan. Didalam pembiayaan
mudharabah pemilik dana (Shahibul Maal) membiayai sepenuhnya suatu usaha tertentu. Sedangkan nasabah
bertindak sebagai pengelola usaha (Mudharib). Pada prinsipnya akad mudharabah
diperbolehkan dalam agama Islam, karena untuk saling membantu antara pemilik
modal dengan seorang yang pakar dalam mengelola uang.
Keberadaan bank syariah saat ini telah menyebar diberbagai
daerah di indonesia. Kegiatan usaha Bank syariah berpedoman pada prinsip
syariah, hal ini yang membedakannya dengan Bank Konvensional. Adapun prinsip
syariah tersebut tertuang dalam pasal 1 angka 13 Undang-Undang Perbankan, bahwa
perjanjian kerjasama antara pihak bank dengan pihak lain dalam hal penyimpanan
dana atau pembiayaan kegiatan usaha atau usaha lainnya harus sesuai dengan
syariah. Di antara bentuk pembayaan kegiatan usaha tersebut adalah pembiayaan
dengan penyertaan modal (musyarakah).
Berkaitan dengan syirkah, keberadaan pihak yang
bekerjasama dan pokok modal, sebagai obyek akad syirkah, dan shighat (ucapan perjanjian atau
kesepakatan) merupakan ketentuan yang harus terpenuhi. Sebagai syarat dari pelaksanaan
akad syirkah.
B.
Rumusan Masalah
Didalam Makalah ini
akan dibahas dua masalah muamalah meliputi :
1.
Pengertian dan Dasar Hukum Mudharabah
2.
Syarat dan Rukun
Mudharabah
3.
Jenis-jenis Dan Asas-asas Mudharabah
4.
Asas-asas Perjanjian
Mudharabah
5.
Sebab-sebab Batalnya
Mudharabah
6.
Pengertian dan Landasan Akad Musyarakah
7.
Macam-macam Akad Musyarakah
8.
Syarat dan Rukun Akad Musyarakah
9.
Hukum Akad Musyarakah
10. Perkara yang membatalkan Akad Musyarakah
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Dan Dasar Hukum Mudharabah
Mudharabah berasal dari kata dharb, artinya memukul atau
berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses
seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha[1], artinya
berjalan di bumi untuk mencari karunia Allah yaitu rizeki.
Sedangkan pengertian mudharabah yang secara
teknis adalah suatu akad kerja sama untuk suatu usaha antara dua belah pihak
dimana pihak yang pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modalnya
dan sedangkan pihal yang lain menjadi pengelolanya.[2] Akad Mudharabah adalah salah satu
bentuk kerjasama antara pemilik modal dengan seorang pakar dalam berdagang.[3]
Akad Mudharabah adalah salah satu akad kerja sama kemitraan berdasarkan prinsip berbagi
untung dan rugi (profit and loss sharing principle), dilakukan
sekurang-kurangnya oleh dua pihak, dimana yang pertama memiliki dan menyediakan
modal, disebut shohibul maal, sedang ke dua memiliki keahlian dan
bertanggung jawab atas pengelolaan dana atau menejemen usaha halal tertentu,
disebut mudhorib.[4]
Jadi akad mudharabah adalah
akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (pemilik dana atau modal atau shahibul maal) menyediakan seluruh dana, sedangkan
pihak kedua (pengelola dana atau modal atau
mudharib) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan
usaha dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan
apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat
dari kelalaian si pengelola. Jika kerugian akibat dari kelalaian pengelola, si
pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Sedangkan landasan dasar akad mudharabah terbagi menjadi tiga macam,
yaitu:
1.
Al-Qur’an
...
وءاخرون يضربون فى الأرض يبتغون من فضل الله ....
“… dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi
mencari sebagian karunia Allah SWT …” (al-Muzzammil: 20)
فاء ذا قضيت الصلوة فا نتشروا في الأرض
وابتغوا من فضل الله ....
“Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah
kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah SWT …” (al-Jumu’ah: 10)
ليس عليكم جناح أن تبتغوا فضلا من ربكم ...
“Tidak ada dosa ( halangan ) bagi kamu untuk mencari
karunia Tuhanmu ….” (al-Baqarah: 198)
2.
Al-Hadits
روى ابن عباس رضي الله
عنهما انه قال : كان سيدنا العباس بن عبد المطلب إذا دفع المال مضاربة اشترط على
صاحبه أن لايسلك به بحرا ولاينزل به واديا ولا يشترى به دابة ذات كبد رطبة فإن فعل
ذلك ضمن فبلغ شرطه رسول الله صلى الله عليه و سلم فأجازه
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Mutholib “jika memberikam
dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak
dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berdahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan
tersebut yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah
syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah saw. Dan Rasulullah pun membolehkannya.” (HR Thabrani)
عن صالح بن صهيب عن أبيه
قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ثلاث فيهن البركة البيع إلى أجل والمقارضة
وأخلاط البر بالشعير للبيت لا للبيع
Dari Shalih bin Shuhaib r.a. bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “Tiga hal
yang di dalamnya terdapat keberkatan : jual beli secara tangguh, muqaradhah
(mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan
untuk dijual.” (HR Ibnu Majah)[5]
3.
Ijma
Ibnu Syihab pernah meriwayatkan dari Abdullah bin
Humaid dari bapaknya dari kakeknya: “Bahwa Umar bin Khattab pernah memberikan
harta anak yatim dengan cara Mudharabah. Kemudian Umar meminta bagian dari
harta tersebut lalu dia mendapatkan (bagian). Kemudian bagian tadi dibagikan
kepadanya oleh Al-Fadhal. ”Ibnu Qadamah dalam kitab Al-Mughni dari malik bin
Ila’ bin Abdurrahman dari bapaknya: “Bahwa Utsman telah melakukan qirad
(Mudharabah)”. Semua riwayat tadi didengarkan dan dilihat oleh sahabat
sementara tidak ada satu orang pun mengingkari dan menolaknya, maka hal itu
merupakan ijma’ mereka tentang kemubahan Mudharabah ini.
B.
Syarat dan Rukun
Mudharabah
Syarat yang harus dipenuhi dalam akad Mudharabah adalah:
1.
Harta atau Modal
a.
Modal harus dinyatakan
dengan jelas jumlahnya, seandainya modal berbentuk barang, maka barang tersebut
harus dihargakan dengan harga semasa dalam uang yang beredar (atau sejenisnya).
b.
Modal harus dalam
bentuk tunai dan bukan piutang.
c.
Modal harus diserahkan
kepada mudharib, untuk
memungkinkannya melakukan usaha.
2.
Keuntungan
a.
Pembagian keuntungan
harus dinyatakan dalam prosentase dari keuntungan yang mungkin dihasilkan
nanti. Keuntungan yang menjadi milik pekerja dan pemilik modal harus jelas
prosentasinya.
b.
Kesepakatan rasio
prosentase harus dicapai melalui negosiasi dan dituangkan dalam kontrak.
c.
Pembagian keuntungan
baru dapat dilakukan setelah mudharib mengembalikan seluruh atau sebagian modal
kepada shahib al-mal.
Rukun yang harus dilaksanakan dalam akad Mudharabah adalah:
Menurut madzhab
Hanafiyah rukun mudharabah adalah ucapan tanda
penyerahan dari pihak yang menyerahkan dalam suatu perjanjian (ijab) dan
ucapan tanda setuju (terima) dari pihak yang menerima dalam suatu akad
perjanjian atau kontrak (qabul), jika pemilik modal dengan pengelola
modal telah melafalkan ijab qabul, maka akad itu telah memenuhi rukunnya dan
sah.
Sedangkan menurut Jumhur Ulama’ ada tiga rukun
dari mudharabah yaitu:
1.
Dua pihak yang berakad
(pemilik modal atau shahib al-maal dan pengelola dana atau pengusaha atau mudharib);
Keduanya hendaklah orang berakal dan sudah baligh (berumur 15 tahun) dan
bukan orang yang dipaksa. Keduanya juga harus memiliki kemampuan untuk diwakili
dan mewakili.
2.
Materi yang
diperjanjikan atau objek yang diakadkan terdiri dari atas modal (maal), usaha (berdagang dan
lainnya yang berhubungan dengan urusan perdagangan tersebut), keuntungan;
3.
Sighat, yakni serah atau ungkapan
penyerahan modal dari pemilik modal (ijab) dan terima atau ungkapan
menerima modal dan persetujuan mengelola modal dari pemilik modal (qabul).[6]
C.
Jenis-jenis Mudharabah
Akad Mudharabah dibagi
menjadi tiga jenis yaitu:
1.
Mudharabah Mutlaqah
Mudharabah Mutlaqah adalah bentuk kerjasama
antara shahib al-mal (penyedia dana) dengan mudharib (pengelola) yang
cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu,
dan daerah bisnis. Penyedia dana melimpahkan kekuasaan yang sebesar-besarnya
kepada mudharib untuk mengelola
dananya. Jadi bank memiliki kebebasan penuh untuk menyalurkan dana modal ini ke bisnis manapun
yang diperkirakan menguntungkan.
Penerapan umum dalam
produk ini adalah:
a. Bank wajib
memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara
pemberitahuan keuntungan atau pembagian keuntungan secara resiko yang dapat
ditimbulkan dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan, maka hal
tersebut harus dicantumkan dalam akad.
b. Ketentuan-ketentuan
lain yang berkaitan dengan tabungan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan prinsip syariah.
c. Tabungan Mudharabah
dapat diambil setiap saat oleh penabung sesuai dengan perjajian yang disepakati
namun tidak diperkenankan mengalami saldo negatif.
d. Untuk tabungan Mudharabah, bank dapat memberikan
buku tabungan. Sebagai bukti penyimpanan serta kartu ATM dan atau alat
penarikan lainnya kepada penabung.
2.
Mudharabah Muqayyadah (On Balance Sheet)
Mudharabah muqayyadah on balance sheet adalah akad Mudharabah yang
disertai pembatasan penggunaan dana dari shahib al-mal untuk
investasi-investasi tertentu.
Jenis Mudharabah
ini merupakan simpanan khusus di mana pemilik dana dapat menetapkan
syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank. Karakteristik jenis
simpanan ini adalah:
a. Bank wajib
memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara
pemberitahuan keuntungan atau pembagian keuntungan secara resiko yang dapat
ditimbulkan dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan, maka hal
tersebut harus dicantumkan dalam akad.
b. Pemilik dana wajib
menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus diikuti oleh bank, wajib membuat
akad yang mengatur persyaratan penyaluran dana
simpanan khusus.
c. Sebagai tanda bukti
simpanan, bank menerbitkan bukti simpanan khusus. Bank wajib memisahkan dana
dari rekening lainnya.
Contoh pengelolaan dana
dapat diperintahkan untuk:
a. Tidak mencampurkan dana
pemilik dana dengan dana lainnya.
b. Tidak menginvestasikan
dananya pada transaksi penjualan cicilan, tanpa pinjaman, tanpa jaminan; atau
c. Mengharuskan pengelola
dana untuk melakukan investasi sendiri tanpa melalui pihak ketiga.
3.
Mudharabah Muqayyadah (Off Balance Sheet)
Jenis Mudharabah
ini merupakan penyaluran dana Mudharabah langsung kepada
pelaksanaan usahanya, dimana bank bertindak sebagai perantara (arranger) yang
mempertemukan antara pemilik dana dengan pelaksana usaha. Pemilik dana dapat
menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank dalam mencari
bisnis (pelaksana usaha). Karakteristik jenis
simpanan ini adalah:
a. Bank menerima komisi
atas jasa mempertemukan kedua pihak. Sedangkan antara pemilik dana dan
pelaksana usaha berlaku nisbah bagi hasil
b. Dana simpanan khusus
harus disalurkan secara langsung kepada pihak yang diamanatkan oleh pemilik
dana.
c. Sebagai tanda bukti
simpanan bank menerbitkan bukti simpanan khusus. Bank wajib memisahkan dana
dari rekening lainnya. Simpanan khusus dicatat pada pos tersendiri dalam
rekening administratif.
Dalam lembaga keuangan
akad tersebut diterapkan untuk proyek yang dibiayai langsung oleh dana nasabah,
sedangkan lembaga keuangan hanya bertindak sebagai wakil yang
mengadministrasikan proyek itu.
D.
Asas-asas Perjanjian
Mudharabah
Asas-asas dalam
perjanjian Mudharabah adalah;
1.
Perjanjian Mudharabah dapat dibuat secara
formal maupun informal, secara tertulis maupun lisan. Namun, sesuai dengan
ketentuan al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 282-283 yang menekankan agar
perjanjian-perjanjian dibuat secara tertulis.
2.
Perjanjian Mudharabah dapat pula
dilangsungkan diantara shahib al-mal dan beberapa mudharib, dapat pula
dilangsungkan diantara beberapa shahib al-maal dan beberapa mudharib.
3.
Pada hakekatnya
kewajiban utama shahib al-mal ialah menyerahkan modal Mudharabah kepada mudharib.
Bila hal itu tidak dilakukan, maka perjanjian Mudharabah menjadi tidak
sah.
4.
Shahib al-maal dan mudharib haruslah orang yang
cakap bertindak hukum dan cakap diangkat sebagai wakil.
5.
Shahib al-maal menyediakan dana, mudharib menyediakan keahlian,
waktu, pikiran, dan upaya.
6.
Mudharib berkewajiban
mengembalikan pokok dana investasi kepada shahib al-maal ditambah bagian dari
keuntungan shahib al-maal.
7.
Syarat-syarat
perjanjian Mudharabah wajib dipatuhi mudharib.
8.
Shahib al-maal berhak melakukan
pengawasan atas pelaksanaan perjanjian Mudharabah.
9.
Shahib al-maal harus menentukan bagian
tertentu dari laba kepada mudharib dengan nisbah (prosentase).
10.
Mudharabah berakhir karena telah
tercapainya tujuan dari usaha tersebut. Sebagaimana dimaksud dalam perjanjian Mudharabah
atau pada saat berakhirnya jangka waktu perjanjian Mudharabah atau
karena meninggalnya salah satu pihak, yaitu shahib al-maal atau mudharib,
atau karena salah satu pihak memberitahukan kepada pihak lainnya mengenai
maksudnya untuk mengakhiri perjanjian Mudharabah itu.[7]
E.
Sebab-sebab Batalnya
Mudharabah
Mudharabah menjadi batal karena hal-hal berikut:
1.
Tidak terpenuhinya
syarat sahnya Mudharabah. Apabila terdapat satu
syarat yang tidak dipenuhi, sedangkan mudharib sudah terlanjur menggunakan
modal Mudharabah untuk bisnis perdagangan, maka dalam keadaan seperti ini mudharib
berhak mendapatkan upah atas kerja yang dilakukannya, karena usaha yang
dilakukannya atas izin pemilik modal dan mudharib melakukan suatu pekerjaan
yang berhak untuk diberi upah.
Semua laba yang dihasilkan dari usaha yang telah
dikerjakan adalah hak pemilik modal. Jika terjadi kerugian maka pemilik modal
juga yang menanggungnya. Karena mudharib dalam hal ini berkedudukan sebagai
buruh dan tidak dapat dibebani kerugian kecuali karena kecerobohannya.
2. Pengelola atau mudharib sengaja tidak melakukan
tugas sebagaimana mestinya dalam memelihara modal, atau melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan tujuan akad. Jika seperti itu dan terjadi kerugian maka,
pengelola berkewajiban untuk menjamin modal karena penyebab dari kerugian
tersebut. Pengelola meninggal
dunia atau pemilik modalnya, maka Mudharabah akan menjadi batal.
3. Jika pemilik modal yang
wafat, pihak pengelola berkewajiban mengembalikan modal kepada ahli waris
pemilik modal serta keuntungan yang diperoleh diberikan kepada ahli warisnya
sebesar kadar prosentase yang disepakati. Tapi jika yang wafat itu pengelola
usaha, pemilik modal dapat menuntut kembali modal itu kepada ahli warisnya
dengan tetap membagi keuntungan yang dihasilkan berdasarkan prosentase jumlah
yang sudah disepakati.
Jika Mudharabah telah batal, sedangkan
modal berbentuk ‘urudh (barang
dagangan), maka pemilik modal dan pengelola menjual atau membaginya, karena
yang demikian itu merupakan hak berdua. Dan jika si pengelola setuju dengan
penjualan, sedangkan pemilik modal tidak setuju, maka pemilik modal dipaksa
menjualnya, karena si pengelola mempunyai hak di dalam keuntungan dan dia tidak
dapat memperolehnya kecuali dengan menjualnya. Demikian menurut madzhab Asy Syafi’i
dan Hambali.
F.
Pengertian dan Landasan
Akad Musyarakah
Istilah lain dari musyarakah
adalah syarikah atau syirkah.[8]Menurut
bahasa arab, syirkah berasal dari kata syarika (fi’il madhi), yasyruku
(fi’il mudhari’), syarikan atau syirkatan atau syarikatan
(masdar atau kata dasar); yang artinya menjadi sekutu atau syarikat (kamus al
munawar) menurut arti asli bahasa arab, syirkah berarti mencampurkan dua bagian
atau lebih sehingga tidak boleh dibedakan lagi satu bagian dengan bagian
lainnya.[9] Sedangkan
pengertian syirkah secara istilah, dikemukakan oleh beberapa ulama sebagai
berikut:
1. Definisi menurut wahbah
az zuhaili, ialah:
“Kesepakatan dalam
pembagian hak dan usaha”
2. Definisi syirkah
menurut taqiyuddin abi bakr Muhammad al husaini, ialah:
“Ungkapan tentang
penetapan suatu hak pada sesuatu yang satu untuk dua orang atau lebih menurut
cara yang telah diketahui”
3. Definisi syirkah
menurut sayyid sabiq, ialah:
“Akad antara dua
orang dalam (penanaman) modal dan (pembagian) keuntungan”.[10]
Sedangkan landasan dasar syari’ah Akad Musyarakah yaitu:
1. QS. Shad ayat 24
وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْخُلَطَاءِ
لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَا هُم
"…Dan sesungguhnya
kebanyakan dari orang-orang yang bersyarikat itu sebagian dari mereka berbuat
zalim kepada sebagian lain, kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal
shaleh; dan amat sedikitlah mereka ini…."
2. Hadis riwayat Abu Daud
dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW berkata :
قال الله : انا ثالث الشركين مالم يخن احدهما
صاحبه فاءذا خانه خرجت من بينهما
“Allah swt. berfirman: ‘Aku adalah pihak ketiga dari
dua orang yang bersyarikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak
yang lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, Aku keluar dari mereka.” (HR.
Abu Daud, yang dishahihkan oleh al-Hakim, dari Abu Hurairah)[11]
G.
Macam-macam Akad
Musyarakah
1.
Syirkah al-milk (kerjasama non
kontraktual), mengimplikasikan kepemilikan bersama dan terjadi ketika dua atau
lebih orang secara kebetulan mendapatkan kepemilikan bersama beberapa aset
tanpa melalui persetujuan kerja sama. Contohnya yaitu seperti menerima hibah
atau wasiat secara bersama-sama.
2.
Syirkah al uqud menunjukkan
kebersamaan dua atau lebih orang untuk menjalankan suatu usaha yang bertujuan
membagi keuntungan dengan investasi bersama sebagai kelaziman pada periode
pembentukan kerjasama tersebut, berupa kerjasama dalam jumlah modal tertentu.[12]
H.
Syarat dan Rukun Akad
Musyarakah
Dari segi hukumnya
melakukan kerjasama dengan menggunakan sistem musyarakah adalah suatu
hal yang dibenarkan dalam Islam. Keabsahannya juga bergantung pada
syarat-syarat dan rukun yang telah ditetapkan. Adapun rukun musyarakah yang disepakati oleh
jumhur ulama adalah:
1.
Shigat (lafal) ijab dan qabul
2.
Pelaku akad, yaitu para
mitra usaha
3.
Obyek akad, yaitu modal
(mal), kerja (dharabah), dan keuntungan (ribh).
Dalam akad kerja sama musyarakah,
pernyataan ijab qabul harus menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan
kontrak. Pihak-pihak yang melakukan akad juga harus cakap hukum seperti
berkompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan. Selain itu
juga setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan. Selain itu juga setiap
mitra kerja boleh mewakilkan kerjanya kepada mitra yang lain dengan perjanjian
yang disepakati bersama.[13]
Sedangkan syarat Musyarakah secara umum adalah:
1.
Harus mengenai tasharuf
yang dapat diwakilkan
2.
Pembagian keuntungan
tergantung kepada kesepakatan, bukan kepada besar kecilnya modal atau
kewajiban.
I.
Hukum Akad Musyarakah
Hukum Akad Musyarakah ada kalanya shahih ataupun fasid. Akad Musyarakah fasid adalah akad syirkah
dimana salah satu syarat yang telah disebutkan tidak dipenuhi, jika semua
syarat terpenuhi, maka syirkah tersebut dinyatakan shahih.
1.
Syirkah al ‘Inan dalam Harta
Kerja atau partisipasi para mitra dalam usaha perniagaan musyarakah adalah
sebuah hukum dasar, dantidak boleh ada satu mitra pun yang abstain dan tidak
memberikan kontribusi kerja. Tetapi, kesamaan kerja bukanlah merupakan syarat,
dibolehkan seorang mitra melaksanakan kerja lebih banyak dari mitra lain, dan
dalam hal ini ia boleh mensyaratkan bagian keuntungan tambahan bagi dirinya.
Menurut madzhab Maliki dan Syafi’I, keuntungan harus dibagi diantara para
mitra secara proporsional sesuai dengan kontribusi modal yang disetor, tanpa
memandang kinerja masing-masing mitra.
Hal itu senada dengan perkataan Ali bin Abi Thalib r.a: “keuntungan
harus sesuai dengan yang mereka tentukan, sedangkan kerugian harus proporsional
dengan modal mereka”.
Jika terjadi kerugian para Ulama’ sepakat, bahwa kerugian harus dibagi
diantara masing-masing mitra secara proporsional terhadap saham masing-masing dalam
modal. Jika modal syirkah rusak sebelum dijalankanya akad, maka akad dinyatakan
batal.
Madzhab Hanafi dan Hanbali berpendapat bahwa pembagian keuntungan dapat
berbeda diantara mitra, jika mereka membuatnya sebagai syarat dalam kontrak.
Argumentasi ini berdasarkan pada pandangan bahwa keuntungan adalah buah dari
interaksi antara modal dan kerja. Hal ini dikarenakan salah satu mitra mungkin
lebih berpengalaman, berkompeten ataupun expert dari mitra yang lain.
2.
Syirkah al Mufawadlah dalam
Harta
Hukum yang telah disebutkan dalam al ‘Inan, berlaku juga dalam al
mufawadloh, begitu juga dengan persyaratan dan implikasinya, karena al Mufawadloh
merupakan bentuk kasus dari al-‘Inan. Namun, dalam al-mufawadloh
terdapat beberapa hukum yang khusus. Diantaranya; masing-masing mitra memiliki
kewajiban yang sama dalam hal menanggung beban hutang yang ditimbulkan akad
syirkah, serta kewajiban finansial lainnya.[15]
a.
Syirkah Al Wujuh
Syirkah Al Wujuh dapat dilakukan dengan al
‘Inan atau al Mufawadloh, sehingga akan berlaku hak, kewajiban atau
implikasi hukum yang melekat didalamnya. Berbeda dengan Hanabalah, syirkah
al Wujuh hanya boleh dilakukan dengan konsep al ‘Inan. Dengan alasan karena
ada unsur gharar didalamnya. Setiap mitra memilliki kewajiban dan
tanggung jawab finansial yang sama, dan mungkin tidak akan mampu ditanggung
oleh mitra lainnya, hal inilah yang merupakan gharar.[16]
b.
Syirkah Al-A’maal
Jika Syirkah Al-A’maal dilakukan dengan dasar al Mufawadloh, maka
setiap mitra memiliki kewajiban yang sama, begitu juga ketika dibangun dengan
dasar al ‘Inan. Setiap mitra memiliki kewajiban untuk menangani bisnis
atau pekerjaan, begitu juga tanggung jawab yang melekat di dalamnya. Namun
demikian, al Mufawadloh dalam konteks ini tidak berlaku secara mutlak,
hanya berlaku dalam hal tanggung jawab dan penyelesaian pekerjaan, selebihnya
berlaku hukum al-‘Inan.
Pembagian keuntungan dapat berbeda diantara mitra, jika mereka membuatnya
sebagai syarat dalam kontrak. Mitra diperbolehkan mendapatkan upah yang lebih
sebanding dengan tanggung jawab kerja yang diembannya. Begitu juga dengan
pembagian resiko, yakni sebanding dengan tanggung jawab kerja.[17]
J.
Perkara yang
membatalkan Akad Musyarakah
Akad syirkah atau Musyarakah merupakan
akad yang diperbolehkan dan tidak mengikat (jaiz ghairi lazim), masing-masing
mitra memiliki hak untuk menghentikan kontrak. Pada prinsipnya, kontrak Musyarakah
akan berhenti jika salah satu mitra menghentikan kontrak, atau meninggal dunia
atau modal yang ditanamkan mengalami kerugian. Mayoritas ulama kecuali Madzhab
Maliki berpendapat bahwa tiap mitra berhak untuk menghentikan kontrak kapan
saja ia kehendaki. Selain itu, akad syirkah
juga bisa batal karena:
1)
Salah satu mitra meninggal dunia, murtad, atau mengalami gangguan jiwa
(gila).
2)
Dalam akad Syirkah al Amwal, akan menjadi batal jika modal (ra’sul
maal) mengalami kehancuran.
3)
Dalam akad al mufawadlah, akan menjadi batal jika tidak ada
persamaan dalam kontribusi modal, pembagian keuntungan, pekerjaan ataupun
tanggung jawab dan kewajiban finansial lainnya.[18]
PEUTUP
kesimpulan
Mudharabah adalah salah satu bentuk akad pembiayaan yang akan di berikan kepada
nasabah dalam suatu Bank. secara umum Mudharabah terbagi kepada dua
jenis, yaitu: Mudharabah Muthlaqah dan Mudharabah Muqayyadah.
Dalam sistem
Mudharabah ini akadnya adalah kerja sama usaha antara dua pihak dimana
pihak pertama menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi
pengelola, keuntungan usaha dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam
kontrak. Manfaat dari Mudharabah
ini adalah Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan
usaha nasabah meningkat
Menurut
jumhur ulama’ ada tiga rukun dari Mudharabah yaitu:
1.
Dua pihak yang berakad (pemilik modal/shahib al-mal
dan pengelola dana/pengusaha/mudharib)
2.
Materi yang diperjanjikan atau objek yang diakadkan
3.
Sighat (ijab-qabul)
Mudharabah
dibagi menjadi tiga jenis yaitu:
1.
Mudharabah Mutlaqah
2.
Mudharabah Muqayyadah On Balance Sheet
3.
Mudharabah Muqayyadah Off Balance Sheet
Mudharabah menjadi batal karena hal-hal berikut:
1.
Tidak terpenuhinya syarat sahnya Mudharabah
2.
Pengelola atau mudharib sengaja tidak melakukan tugas sebagaimana
mestinya dalam memelihara modal
3.
Pengelola meninggal dunia atau pemilik modalnya
Akad musyarakah merupakan akad kerjasama antara
dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dengan kondisi masing-masing
pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi
berdasarkan kesepakatan, sedangkan kerugian berdasarkan porsi kontribusi dana.
Macam-macam Akad Musyarakah itu ada dua :
1.
Syirkah al uqud
2.
Syirkah al-milk
Hukum Akad Musyarakah
1.
Syirkah al ‘Inan dalam Harta
2.
Syirkah al Mufawadlah dalam
Harta
a.
Syirkah Al Wujuh
b.
Syirkah Al-A’maal
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Shamad, “Hukum Islam, Penormaan
Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia”, Prenada Media Group, Jakarta, 2010
Al-Qur’an Al-Karim.
http://infodakwahislam.wordpress.com/2013/05/21/asas-asas-perjanjian-mudharabah/
Heri sudarsono, bank dan
lembaga keuangan syariah, (Yogyakarta: EKONOSIA, 2003),
http://id.wikipedia.org/wiki/Musyarakah
http://id.wikipedia.org/wiki/Mudharabah
Makhalul ilmi SM. Teori dan praktik lembaga mikro keuangan syari’ah.
Yogyakarta: UII press yogyakarta. 2002.
Muhammad. Manajemen pembiayaan
bank syari’ah. Yogyakarta: akademi manajemen perusahaan YKPN. 2005
Muhammad syfi’i antonio. Bank syari’ah: dari teori ke praktik. Jakarta:
gema insani press. 2001.
Muhammad. Manajemen pembiayaan bank
syari’ah. 2005. Yogyakarta: akademi
manajemen perusahaan YKPN
Najamuddin, Aplikasi
Musyarakah dan Mudharabah dalam perbankan syariah, diakses dari:http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/EKONOMI%20SYARIAH/aplikasi_musyarakah_dan_mudharab.pdf, tanggal 27 Oktober 2013,
09:06.
Rasjid, sulaiman; Fiqh
Islam (hukum fiqh lengkap), cet 51, bandung; sinar baru algesindo, 2011.
Sunan Ibn Majjah, kitab
at-Tijarah., 1997 ,Toha Putra.
Qomarul huda, fiqh muamalah,
Yogyakarta: teras, 2011,
Zamam, mudharabah dan
musyarakah, (http://mataelan.blogspot.com/2012/10/mudharabah-dan-musyarakah-dasar-hukum.html)
[1] Muhammad.
Manajemen pembiayaan bank syari’ah. Yogyakarta: akademi manajemen perusahaan
YKPN. 2005. Hal 102
[2]
Muhammad syfi’i antonio. Bank syari’ah: dari teori ke praktik. Jakarta:
gema insani press. 2001. Hal. 95
[4]
Makhalul ilmi SM. Teori dan praktik lembaga mikro keuangan syari’ah.
Yogyakarta: UII press yogyakarta. 2002. Hal. 32
[6] Rasjid, sulaiman; Fiqh
Islam (hukum fiqh lengkap), cet 51, bandung; sinar baru algesindo, 2011. Hal.
299
[7] http://infodakwahislam.wordpress.com/2013/05/21/asas-asas-perjanjian-mudharabah/
[8] Heri
sudarsono, bank dan lembaga keuangan syariah, (Yogyakarta: EKONOSIA, 2003),
hlm. 67
[9] http://id.wikipedia.org/wiki/Musyarakah
[11] Qomarul Huda,
Ibid…, hlm.102.
[12] Abd. Shamad,
“Hukum Islam, Penormaan Prinsip Syariah Dalam Hukum Indonesia”, Prenada Media
Group, Jakarta, 2010
[13] Zamam,
mudharabah dan musyarakah, (http://mataelan.blogspot.com/2012/10/mudharabah-dan-musyarakah-dasar-hukum.html)
[14] Najamuddin,
Aplikasi Musyarakah dan Mudharabah dalam perbankan syariah, diakses dari:http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/EKONOMI%20SYARIAH/aplikasi_musyarakah_dan_mudharab.pdf, tanggal 27
Oktober 2013, 09:06.
[15] Zuhaili, jilid
IV, hal:821
Tidak ada komentar:
Posting Komentar