Minggu, 24 November 2013

masalah Ijma'; diambil dari kitab alwajiz fi ushulil fiqh,.

أ.د.وهبة الزحيلي
الوجز في اصول الفقه
Dalil ke-Tiga – IJMA’
Dalam bab ini akan dibahas tentang; Definisi ijma’, Rukun dan Syarat-syarat ijma’, Sandaran ijma’, kehujjahan ijma’, Bentuk-bentuk ijma’, kemungkinan terjadinya ijma’, dan terjadinya ijma’ dalam praktek.

A.    Definisi ijma’ :
Ijma’ menurut bahasa (etimologi) berarti شيء على العزم yaitu ketetapan hati untuk melakukan sesuatu = tekad atau niat, dikatakan “fulan mengumpulkan perkara”, artinya tekat atau niat si fulan, dari itu Allah berfirman فاجمعوا امركم وشركاءكمKarena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (Yunus: 10 / 71). Artinya tekat mereka, berupa kesepakatan, dikatakan; kaum mengumpulkan (masalah) pada ini, artinya kesepakatan itu.
Menurut istilah (terminology) Ushuliyyin: Ijma’ adalah sepakatnya para mujtahid dari umat Nabi Muhammad SAW setelah wafatnya Rosululloh pada masa ke masa akan suatu hokum syar’i. bahwa ijma’ itu wajib muncul dari kesepakatan atas perkara dari beberapa perkara. Bahwa adanya ijma’ itu keluar dari para mujtahid yang mana mereka adalah orang-orang yang ahli dalam bidangnya (ijtihad). Maka tidak diterim ucapanya orang awam yang orang itu tidak ahli berfikir kritis dalam menggali hokum-hukum as-syar’iyyah. Kemudian adanya ijma’ itu kesepakatan dari seluruh mujtahid, maka bukan dikatakan ijma’ karena kesepakatak kebanyakan mujtahid. Dan tidak dikatakan ijma’ bila mana ahli madinah saja, bukan ijma’nya ahli haramain (Makkah dan Madinah) saja, dan bukan ijma’nya Al-Misryn (Al-Basrah dan Kuffah) saja, tidak ijma’nya Asy-syaikhan (Abi Bakr dan Umar), bukan ijma’nya Al-Khulafa’u Rosyidin al-arba’ah, bukan pula ijma’nya Ali Al-Bait (Ali dan Fatimah dan kedua putranya Al-Hasan dan Al-Husain rodliallahu ‘anhum).
Dan harus adanya ijma’ itu dari para mujtahidnya umat Nabi Muhammad SAW, maka keluar dari itu(ijma’) kesepakatan ملل اهل (para ahli membalikkan sesuatu atau ahli dalam sudut pandang doktrin) meskipun berupa kumpulan syara’-syara’, tidak dikhususkan adanya ijma’ itu dalam dalil-dalil syar’iyyah pada umat Nabi Muhammad yang tetap atau berharap terpelihara dari berbuat dosa dan berbuat kesalahan.
Tidak meyakini ijma’ dalam keadaan atau masa hidupnya Nabi Muhammad SAW; karena adanya Rosulullah itu para mujtahid sepakat pada hukum. Adanya ditetapkanya hokum pada as-Sunnah, bukan dengan ijma’, dan sesungguhnya jika ada perbedaan antara para mujtahid maka gugurlah kesepakatan para mujtahid.
Ijmak tidak akan muncul kecuali pada hukum syar’i seperti Wajib, haram, Sah (sihah), dan Rusak (fasad), maka tidak dikatakan ijma’ didalam perkara bahasa (اللغوية) seperti adanya “Fa’ (للتعقيب) berupa adanya akibat, atau berupa qodliyah-qodliyah aqliyyah, seperti barunya alam, atau duniawiyyah seperti; ahli beberapa pemikiran, ahli peperangan, ahli mengatur pemerintahan dan sebagainya dari perbuatan-perbuatan Urf dan adat yang tidak berhubungan dengan perbuatan-perbuatan orang-orang mukalaf.

B.     Rukun dan Syarat-syarat ijma’:
Bukan dinamakan ijma’ kecuali memenuhi satu rukun. Menurut ma’na kalimat yang lembut (الركن اجماع) adalah kesepakatan para mujtahid, maka tidak dikatakan ijma’, hasil perkara yang disepakati diantara para mujtahid.

Dan Syrarat-syarat ijma’ itu ada enam, yaitu:
1   Bahwa adanya ijma’ itu menetapi kesepakatan golongaan atau bilangan para mujtahid, maka tidak dinyatakan ijma’ dengan hanya seorang mujtahid; karena sesungguhnya makna (الاتفاق) kesepakatan itu tidak bisa digambarkan dengan hanya bilangan dari golongan ulama’, maka jika tidak ditemukan seorang mujtahid atau dua orang mujtahid dalam suatu masa maka tidak bisa disimpulkan pula sebagai ijma’ secara syar’i.
2     Bahwa adanya kesepakatan itu dari seluruh mujtahid atas  hokum syar’iyyah, jika ditemukan kesepakatan banyaknya mujtahid, itu tidak bisa disimpulkan sebagai ijma’ meskipun didalam kesepakatan itu terdapat sedikit golongan yang bertentangan dan banyaknya golongan yang bersepakat; karena sesungguhnya ijma’ itu kesepakatan seluruh golongan para mujtahid tanah atau Negara islam.
3   ijma’ jadi sempurna manakala itu hasil kesepakatan seluruh mujtahid yang berbangsa islam dalam menanggapi munculnya permasalahan yang baru (aktual), meskipun islamnya negara dan kebangasaan mereka berbeda, maka tidak bisa disimpulkan sebagai ijma’ dalam sebuah negara tertentu seperti Hijaz, Haromain, Mesir, dan Iraq, dan tidak bisa dikatakan ijma’ pula golongan Ali-Al-Bait saja atau dengan Ahli As-Sunnah yang bukan Serikat mujtahid.
4     Kesepakatan itu hendaknya dinyatakan masing-masing mujtahid dengan terang dan tegas pada satu waktu, baik dinyatakan secara pribadi maupun berkelompok dalam satu tempat, begitu juga adanya kesepakatan itu muncul baik berupa ucapan, tindakan, sendiri, atau mengumpulkanya.
5     Hendakanya terjadinya kesepakatan itu berasal dari seluruh ahli mujtahid yang bersifat adil dan jauh dari sifat bid’ah, karena nash-nash dasar atas kehujjahan ijma’ itu menunjukkan pada keterangan tersebut.
a)     Adakalanya sifat adil menurut jumhur ulama’, maka sesungguhnya hukum adil adalah adanya keteguhan diri, sesungguhnya penetapan keahlianya dalam bersaksi, orang yang ahli dalam kesaksiannya adalah menunjukkan adanya orang yang adil, seperti dalam nas Al-Quran (وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُم) dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu,. (QS: Ath-Thalaaq Ayat: 2).
b)     Adapun orang yang menjauhkan dari bid’ah, sesungguhnya bid’ah itu dhukumi kufur, adalah saudara orang yang bukan muslim, sama halnya walaupun adanya مكفرة itu bukan مكفرة asli sedang orang-orang memanggilnya مكفرة, maka gugurlah sifat adilnya dengan penunjukkan sifat batil meskipun tiada dalil yang menyandarkan atas kebatilan itu, dan tidak bisa diambil ijma’ itu dari Qoul atau ucapan dari (  اجمع الامة قوله في) hal ini juga tidak dianggap ijma’ atas hilafnya kaum Rofidloh dalam ke-imaman asy-Syaihain, dan tidak pula mengenai hilafnya kaum Khowarij dalam ke-Imaman Sayyidina Ali karamallahu wajh.
6)     Menyengaja mengumpulkan atas bersandarnya hukum syar’I dalam ijma’nya mujtahid dari nash atau qiyas, karena pengambilan dasar dengan tanpa disandarkan itu salah (خطا) dikatakan dalam agamanya dengan tanpa ilmu, artinya itu dicegah atau larangan, Allah berfirman : (وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ )Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.(QS: Al-Israa' Ayat: 36). Dan karena sesungguhnya pengumpulan mererka tidak lain karena mereka ikhlas dalam kebebasan dan berpikirnya dalam menetapkan hukum-hukum syar’iyyah.

C.      penyandaran Ijma’
Adalah bukti atau dasar apa yang dipegang oleh para mujtahid didalam kesepakatan menyimpulkan perkara. Maka wajib adanya kesempurna’an itu, seperti apa yang telah dituturkan. Jika penyimpulan ijma’ itu diambil dari selain yang disandarkan, maka tidak ditetapakan sebagai hukum syara’ setelah Nabi Muhammad SAW, ini batal. Kemudian bahwa hal itu jauh dari kebiasaan (عادة) perkara yang baru yang disepakati diantara para mujtahid dari selain sebab adanya keharusan bersepakat(الاتفاق), dan bersatunya diantara para ahli berfikir. (المستند) adalah sesuatu yang mempersatukan para ahli berfikir, yang mencegah terjadinya kesalahan dari batasan-batasan syara’. Yaitu ada kalanya faham nash dari beberapa nash atas hukumnya, atau menggali hukum dari nas-nash dengan perantara qiyas atas nash-nash hukum itu, atau memcocokkan kaidah-kaidah asy-syar’iyyah dan mulai menetapkan hukum syar’iyyah yang umum dengan pemikiran yang bisa diterima oleh syara’. Atau berpegang pada dalil syar’iyyah seperti (الاستحسان) hal kebaikan, (الاستصحاب) hal penetapan hukum, (العرف) hal kebiasaan, dan (سد الذرائع) hal meluruskan wasilah dan sebagainya.
Dan tidak cocok jika ilham itu dijadikan dalil didalam syara’; karena sesungguhnya syara’ itu mengambil dari (صاحب الرسالة), dia sendiri tidak mengatakan (في الدين من غير وحي) didalam masalah keagamaan tidak ada selain yang diwahyukan, maka umat yang dahululah yang bisa mengatakan jika itu dari dalil, maka adanya hukum itu dari jual-beli, keinginan, akal, tingkah laku dari perbuatan ahli bid’ah dan terjerumus.
Macam-macam penyandaran (المستند) didalam pandangan kebanyakan ulama’: ada kalanya itu dalil qat’I dari Al-Qur’an dan Hadist (السنة) yang mutawatir, maka adanya ijma’ itu sebagai penguat dan penolong dalil, baik berupa dalil dzonni yaitu hadist ahadi (خبر الواحد ) dan qiyas, maka hukum ijma’ itu akan lebih unggul mulai dari derajat dzon menuju derajat qhot’I (القطع) dan yakin.
(المصلحة المرسلة) “Sesuatu yang dianggap maslahat namun tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikanya dan tidak ada pula dalil tertentu baik yang mendukung maupun yang menolaknya”, itu bisa baik jika disandarkan pada ijma’, karena maslahah itu bisa mengganti, maka boleh mengganti ijma’ dan memperbarui hukum sekira itu pantas serta maslahat. Dengan dalil, bahwasanya tujuh ahli fiqh Madinah, mereka memberikan fatwa dengan boleh menentukan (التسعير). Imam Said yang hiduppada masa sahabat, bahwa beliau meniadakan qoul (التسعير), imam Malik dan imam Abu Hanifah memberikan fatwa, bahwa memberikan zakat kepada bani Hasyim ketika baiyul mal mengalami perubahan, serta bahwasanya hukum syara’ tidak menghalalkan zakat kepada Bani Hasyim. Dan para imam madzhab mencegah seseorang yang menjadi saksi suami untuk istrinya, begitu juga sebaliknya. Kesaksian Asal (الاصل) dan Cabang (الفروع)sebagian ke bagian yang lain. Maslahah untuk kebaikan yaitu menjaga atas hak-haknya manusia dari mensia-siakan, dan tentang hal itu boleh terjadi diantar sahabat.
Dan termasuk contoh-contoh ijma’berhubungan kepada maslahah mursalah; itu ijma’nya para shahabat dimasa pemerintahan Sayid Umar atas peniadaan paksaan pembagian tanah-tanah yang yang digarap dan tidak ada pemasangan pembatas, demi menyelamatkan pemasukan tetap untuk baitul mal (kas Negara), atau untuk membiayai kemaslahatan umum, para pegawai dan orang-orang yang membutuhkan, dan agar bisa selalu menjadi haq bagi orang-orang islam yang terdahulu sampai nanti secara rata, tanpa melarang salah satu dan mengkhususkan kelompok tertentu.
Termasuk bentuk ijma’ yang berkaitan dalam maslahah mursalah; kesepakatan para shahabat tentang pembukuan Al-Qur’an dalam satu mushaf, menambah adzan yang ke-tiga pada sholat jum’at pada masa Sayyidina Ustman. Untuk membertahu orang-orang masuknya waktu sholat, terlebih orang-orang yang jauh dari masjid, agar mereka tidak terlambat melakukan sholat, dan sumber mereka adalah “al-Maslahah” dan menghilangkan kerusakan yang berujung atau bertujuan atas kelestarian suatu hal sesuai dengan apa adanya. Pada zaman Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar dan Umar.
Sebagaimana ijma’ terdapat dalam suatu hukum masalah yang terjadi, juga mungkin terjadi ijma’ itu sesuai dengan ta’wil Nash, ataupun penafsirannya, atau alas an hukum Nash.

D.     Kehujjahan ijma’
Ketika ijma’ sudah sesuai dengan ketentuan yang sudah lewat, yakni smua pendapat para mujtahid sepakat pada satu hukum tentang suatu masalah, maka hukum tersebut sudah menjadi ketetapan yang wajib diikuti, tidak boleh dilanggar, untuk generasi setelahnya juga tidak boleh merusak (menghapus) hukum tersebut. Karena hukum syara’ itu menjadi hukum qoth’I (القطعي) yang tidak boleh dilanggar dan diubah, dan hukum tersebut juga sudah mencapai taraf yaqin, sebagaimana Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Meski dalil ijma’ itu berupa dalil qoth’i (القطعي), tapi ijma’ itu bukan hujjah (الداليل) yang independen, melainkan dikuatkan dengan dalil-dalil lain ketika dalil ijma’ itu dzon (الظن) maka itu berupa dalil yang independen, dengan kata lain cukup dijadikan sebagai sumber hukum dan tidak perlu lagi merujuk pada dalil-dalil yang lain yang dijadikan sebagai pedoman, tetapi bukan berarti ijma’ itu sendiri memunculkan hukum, karena syara’-lah yang sebenarnya menjadi sumber inspirasi syariah.
Sifat hujjah yang ada pada ijma’ menurut kebanyakan ulama’ adalah hujjah qoth’I (القطعي), yang mana mereka yang tidak menyetujui dianggap kafir atau dianggap tersesat dan bid’ah, jika ijma’ sampai pada kita secara continue (متوتر) tetapi ketika sampai secara ahadi (الاحادي), atau ijma’ sukuti (الاجماع السكوت) maka nilainya sebagai Dzon (dugaan) yang belum tegas (القطعي).
Lebih jelasnya menurut sebagian ulama’ seperti Imam Amudy dan Imam Al-Haramain dan Al-Isnawy dan Ibn Hajib; beliau berpendapat bahwa orang yang mengingkari ijma’ tidak dianggap kafir kecuali ijma’ yang sudah dikenal oleh orang awam, seperti shalat lima waktu, wajib bertauhid (meyakini ke-Esaan Allah), meyakini risalah para Rasul atau para Nabi Allah dan sebagainya yang sudah diwajibkan oleh agama, atau seseorang mengakui ijma’ dan kejujuran orang yang sepakat dalam suatu pendapat tapi orang itu ingkar tehadap hal-hal yang disepakati oleh para mujmi’in (المجمعين), karena pengingkaran yang demikian itu sama dengan mendustakan syara’; “barang siapa mendustakan syara’, maka dianggap kafir”.
Dalil-dalil Al-Qur’an atau Hadist yang menganggap ijma’ bisa dijadikan hujjah sebagai berikut:
1)     Al-Qur’an;
Dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menunjukkan ijma’ bisa dijadikan hujjah, diantaranya; (QS: An-Nisaa Ayat: 4-115) disini Allah menganggap orang yang tidak mengikuti pendapat atau cara fikir orang-orang yang mu’min sama dengan menentang Allah dan Rasul-Nya, karena berakibat mendapatkan balasan yang sama sebagaimana memusuhi Allah dan Rasul-Nya, balasan itu adalah; Allah tidak peduli meski orang itu sedang dalam kerusakan dan dimasukkan ke Jahanam.
Ketika memusuhi Allah dan Rasul-Nya haram, maka tidak mengikuti cara fikir atau pendapat orang-orang mu’min juga haram. Jika haram tidak mengikuti pendapat mereka (mu’minin) wajib, dari itu ijma’ ditetapkan sebagai hujjah, karena yang dikehendaki cara fikir atau pendapat seseorang itu meliputi apa saja yang menjadi pilihannya, bisa berupa ucapan, perbuatan, keyakinan.
Dan ayat (QS: An-Nisaa Ayat: 9-59); sebagaimana Allah SWT perintah agar Allah dan Rasul-Nya ditaati, Allah juga perintah agar terhadap orang-orang mu’min agar taat pada pemimpin, orang yang mengurus pengaturan dan kekuasaan mereka termasuk juru hukum (para hakim), sedang yang yang mengurus ijtihad dan fatwa adalah para ulama’ mujtahid, maka ketika orang-orang yang mengurus masalah ijtihad syar’I sepakat pada suatu hukum maka wajib diikuti, berpedoman pada hukum mereka dan melaksanakannya, sebab ada Nash Al-Quran firman Allah (QS: An-Nisaa Ayat: 4-73).
2)     As-Sunnah atau Hadist Nabi;
Apa saja yang sudah disepakati oleh para mujtahid itu menjadi hukum umat Muhammad, karena para mujtahid dalam hal ini berstatus sebagai umat-umat yang terpilih, disamping itu juga terdapat dalam hadist yang menjelaskan terjaganya umat-umat Muhammad dari kesalahan, dan hadist-hadist tersebut jika tidak mutawatir secara lafadz dan satuan-satuannya tapi diperkirakan menjelaskan terjaganya umat Muhammad dari kesalahan itu bisa dinamakan mutawatir, karena keberadaannya sering sekali ditemukan dibanyak hadist; yang demikian dinamakan “mutawatir ma’nawy” yang katanya sama dengan “mutawatir lafdzi” dalam hal sama-sama tarapan yaqin (bisa diterima).  Termasuk hadist-hadist yang menjelaskan kesepakatan umat Muhammad; “umatku tidak akan sepak terjerumus dalam kesalahan”, “Allah tidak akan menjadikan semua umatku dalam kesesatan”, dan hadist; “pertolongan Allah bersama para jama’ah”, kemudian hadist; “ segolongan dari umatku pasti akan selalu menegakkan kebenaran yang mana orang-orang yang menentang tidak akan dapat membimbingnya, kecuali dating ketentuan Allah”, dan hadist; “barang siapa memisahkan diri dari jama’ah sedikit saja, lalu meninggal maka meninggal dalam keadaan jahiliyyah”, “syetai itu bersama hamba yang sendirian, dan akan menjauhi dua orang”, Ibnu Mas’ud berkata; “apapun yang dianggap orang muslim baik, maka hal tersebut menurut Allah baik”. Semua ini adalah dalil-dalil yang menjelaskan bahwa kesepakatan pendapat mujtahid itu sesuai kebenaran, seumpama tidak ada dalil-dalil itu, maka para mujtahid tidak akan sepakat, padahal pendapatnya fariatif, keadaanya pun tidak sama, persiapan dan kemampuan ilmiahnya juga ada selisih.

E.      Bentuk-bentuk Ijma’
Ijma’ dilihat dari prosedur ada dua cara: Ijma’ yang Shorih dan Ijma’ yang sukuty.
1)     Ijma’ Shorih
Adalah pendapat para ulama’ (mujtahid) baik berupa ucapan atau perbuatan sepakat dalam suatu hukum masalah tertentu, semisal para ulama’ majlis sepakat semua dan masing-masing mengutarakan pendapat secra gambling tentang suatu masalah, semua pendapat sepakat dalam satu hukum yang sama atau masing-masing memberikan fatwa tentang suatu masalah, dan semua fatwa mengarah pada satu hal yang sama. Ijma’ Shorih bisa dijadikan hujjah tanpa ada khilaf dikalangan jumhur.
2)     Ijma’ Sukuti
Sebagian mujtahid berpendapat pada kurun awal tentang suatu masalah dan yang lain diam setelah mencermati pendapat tersebut, tanpa ada yang mengingkari.
para ulama’ berbeda pendapat dalam Ijma’ Sukuti; sedang yang dianggap valid hanya dua:
a)     Malikiyyah dan Syafi’iyyah: ijma’ sukuti itu bukan ijma’ dan tidak bisa dijadikan dalil.
b)     Hanafiyyah dan Hanbaliyyah: ijma’ sukuti itu ijma’ yang diterima, dan termasuk hujjah yang qhot’i.
Kelompok pertama mengingkari adanya ijma’ sukuti berdasarkan pemikiran mereka, bahwa diamnya para mujtahid itu tidak bisa dijadikan qorinah atas kesepakatan mereka, tentang apa yang mereka dengar, sebab bisa jadi diamnya mereka karena mereka tidak berijtihad dalam suatu masalah, atau karena takut dan sungkan (minder) pada orang yang berpendapat, atau untuk menghindari adanya konflik jika pendapatnya atau dia punya keyakinan, bahwa orang yang berpendapat adalah seorang mujtahid.  Sedangkan semua mujtahid itu benar dan lain-lain yang berupa kemungkinan-kemungkinan yang bisa menghalangi sahnya diam dianggap sesebagai tanda setuju, dan cocok pada pendapat yang tegas.
Untuk pendpat yang kedua; yaitu yang setuju tentang ijma’ sukuty bisa dijadikan hujjah atau dalil, mereka berpedoman pada pendapat mereka dengan dua dalil:
1)     Mendengarkan pendapat semua mujtahid sangat sulit, dan yang sudah lumrah adalah fatwa dari sebagian ulama’ sudah dipublikasikan sedangkan yang lain hanya diam.
2)     Sudah lumrah dalam kurun (waktu) para ulama’-ulama besar berfatwa terhadap masalah baru sedangkan ulama kelas bawah hanya diam karena memang setuju. Dengan demikian sukut (diam) adalah tanda setuju secara dimny (diam).
Yang jelas adalah; bahwa Ijma’ Sukuty bisa dijadikan hujjah jika memang ada tanda-tanda ridlo dan setuju, dan tidak terdapat kemungkinan-kemungkinan yang menghalangi dijadikannya sukuty (diam) sebagai bentuk setuju, semisal mujtahid tidak membahas atau diam karena menjaga harga diri, berbuat baik, takut, dari orang yang berbuat jelek atau terhadap sultan dan lain-lain. Karena pada umumnya ijma’nya para shahabat tidak dapat difahami kecuali dengan ungkapan yang jelas, sedang sahabat yang lain semua diam. Jika qorinah yang menunjukkan ridlo (setuju) tidak valid, maka ijma’ sukuti bisa dijadikan hujjah, tapi sifatnya dzon.

F.      Kemungkinan Terjadinya Ijma’
An-Nidzom dan sebagian ulama’ Mu’tazilah, dan ulama Syi’ah berpendapat, bahwa pada umumnya ijma’ tidak mungkin terjadi kecuali sebab dua alasan:
1)     Keberadaan ijma’ diperlukan kesepakatan para mujtahid dalam satu massa, dan hal tersebut bisa dibuktikan dengan dua cara yaitu: mengetahui pribadi para mujtahid pada saat muncul masalah baru di Negara-negara islam, dan mengetahui semua pendapat mereka, padahal dua perkara tersebut sangat sulit karena tidak ditemukan ketentuan untuk mengetahui mujtahid dari yang bukan mujtahid, disamping itu para ulama’ juga terpisah-pisah dan terdapat diberbagai Negara, dan tidak terhitung jumlahnya disuatu Negara, sehingga tidak mudah mengumpulkan mereka, mengetahui pendapat mereka dengan sumber yang bisa dipercaya.
2)     Adakalanya dalil  para ulama’ yang ijma’ berupa qhot’I yang tidak ada Ta’wil, jika demikian tidak perlu ijma’, atau berupa dalil Dzonny maka sangat sulit sekali untuk sepakat jika ditinjau dari kebiasaa, karena dalil Dzonny adalah sumber khilaf disebabkan perbedaan dan sudut pandang para mujtahid, juga perbedaan kemampuan akal mereka dan selisih kapasitas mereka dalam mengenal perkara haq, juga perbedaan dalam membantah, semangat, dan bermadzhab dari masing-masing mereka. Sehingga tidak mungkin adanya ijma’ dan itupun tidak bisa terjadi.
Untuk menjawab dalil-dalil diatas; bahwa dalil-dalil diatas itu murni Syubhat dan kerancauan dalam perkara-perkara yang baru sehingga tidak perlu direspon (ditanggapi).
Mayoritas ulama’ berdalil tentang adanya ijma’secara wajar yaitu; bahwa ijma’ benar-benar terjadi dalam prakteknya, tidak ada yang lebih jelas tentang mungkin terjadinya ijma’ dari pada praktek. Para shahabat pun sepakat untuk membunuh orang-orang yang tidak mau berzakat, juga sepakat dalam mengumpulkan AL-Qur’an menjadi satu Mushaf, juga tentang pengharaman Riba dalam enam macam, batalnya menikahnya muslimah dengan non muslim, sahnya menikah tanpa menyebutkan mahar, haramnya menikahi perempuan dan bibi’nya, dan haramnya lemak babi, memberikan seper enam warisan untuk nenek, terhalangnya cucu laki-laki karena ada anak laki-laki, larangan menjual makanan sebelum diterima dan masih banyak hukum lain yang ijma’.
Sampai saat ini ijma’ juga masih bisa terjadi dengan cara mu’tamar, seminar para pakar hukum, seminar tentang fiqh yang bertujuan agar suatu pilihan itu sah sesuai norma-norma syar’I dalam memilih dewan, ahli ijtihad dari orang terkenal yang masih ada diseluruh Negara islam, bukan karena bersikap baik atau kecintaan.

G.     Terjadinya Ijma’ dalam Praktek
Mayoritas ulama’ berpendapat; ijma’nya para shahabat dan lainnya benar-benar terjadi, sebab sebagaimana dijelaskan dalam kitab “Maratibul Ijma’” karya “Ibnu Hazm”; semisal ijma’ mengenai pemberian warisan terhadap nenek seper enap (1/6), larangan menjual makanan sebelum diterima, keharaman lemak babi yang disamakan dengan dagingnya, kewajiban ganti rugi barang yang dighosob dengan harga atau barang yang sama, batalnya pernikahan untuk wanita muslimah dengan orang kafir, sahnya akad nikah tanpa menebutkan mahar (mas kawin), haramnya menikahi perempuan dan bibik nya, wajibnya iddah sebab ditinggal mati suami dan sebagainya, yang bersumber pada Nash syar’I, tapi ini tidak masuk dalam pembahasan sekarang.
Adapun ijma’ dalam masalah-masalah ijtihady yang masih murni, maka tidak mungkin mengaku ijma’ dengan mudah, mengenai sesuatu yang diucapkan yaitu; bahwa “dulu ada beberapa pendapat yang tidak diperselisihkan dikalangan para shahabat dan yang lain”, kata-kata seperti ini menurut mayoritas ulama’ dikategorikan dalam ijma’ Dzonny bukan Qhot’i.
Masih ada contoh ijma’ yang murni yaitu disyariatkannya akad “Mudlorobah” para ulama’ sepakat tentang diperbolehkannya akaq tersebut, padahal tidak ada Nash yang sohih atas masalah Mudlorobah.

Mengenai suatu hal yang mana orang-orang dulu pernah mempraktekkan akad Mudlorobah, pada zaman Nabi Muhammad SAW, itu sudah ditetapkan oleh beliau dan tidak diingkari oleh beliau. Imam Syafi’I berkata; “ apa saja yang tidak diketahui khilafnya itu tidak bisa disebut ijma’”, adapun yang dikehendaki dengan perkataan Imam Ahmad; “siapa saja yang mengaku-ngaku ijma’, maka orang itu adalah pembohong”, hal ini untuk memotifasi orang-orang agar komitmen pada pendapat-pendapat sekumpulan orang bukan cuma mengku ijma’ tanpa mengoreksi terlebih dahulu, dan tanpa mencocokkan pada yang lain membebani sahnya suatu pendapat dan validnya suatu khabar, bukan berarti yang dikehendaki adalah mengingkari adanya ijma’.


                                                                                         
Catatan: koreksi lagi, mungkin masih banyak kesalahan dalam  pembahasan.                                               terima kasih. wassalam.

                                                                                        Semarang, 25/11/2013. "

                                                                                                              by: Nadlirin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar